Nalar Kritis Tentang Etika Antara Elit VS Rakyat Alit
Oleh : Alim Mustofa
Koordinator Akademi Pemilu Dan Demokrasi (APD) Kota
Malang
Alimmustofa.com - Akhir-akhir ini masyarakat
Indonesia dihebohkan dengan berbagai persoalan bangsa, khususnya pertarungan
politik ditingkat elit dalam dinamika pelaksanaan pemilihan umum tahun 2024.
Derasnya kritik elit politik dan kalangan akademisi yang mengatasnamakan guru
besar berbagai perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta se-
Indonesia. Kritik sekelompok elit politik menilai bahwa pemerintah (baca:Joko Widodo Presiden Republik
Indonesia) dianggap telah merusak demokrasi dan bersikap tidak netral serta
tidak beretika dalam berpolitik. Sementara kalangan akademisi menyuarakan
seruan moral menjaga integritas dan etika dalam berbangsa dan ikut
merawat demokrasi.
Gelombang protes mahasiswa, kritik keras sekelompok elit politik dan seruan moral dari guru besar semakin besar menjelang hari pemungutan suara pemilu tanggal 14 februari 2024. Bahkan gelombang demo sekelompok mahasiswa terus menerus mewarnai berita di televisi nasional meski tidak semua televisi nasional menjadikan peristiwa ini menjadi headline berita.
Kritik
keras elit politik, seruan moral guru besar dan protes mahasiswa memiliki
kesamaan tujuan yaitu mengingatkan pemerintah dalam hal ini Jokowi menjaga
etika politik dalam dalam berbangsa.
Persoalan ini
bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 berkenaan
syarat usia calon presiden dan wakil presiden, yang dianggap sebagai upaya politik
untuk memberikan jalan mulus atas pencalonan Gibran Rakabuming Raka putra
Presiden Joko Widodo yang maju sebagai calon wakil presiden di pemilu tahun
2024.
Upaya melawan
putusan MK telah dilakukan oleh berbagai pihak dengan mengajukan uji materi atas
putusan MK yang dianggap tidak memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum
bagi masyarakat. Hasil uji materi di MK semua ditolak atau tidak dikabulkan
oleh majelis dengan alasan bahwa putusan MK merupakan upaya hukum terakhir dan
tidak ada lagu ruang hukum lain, yang sifat putusannya final dan mengikat.
Belum reda
perdebatan sanksi etik DKPP terhadap Komisioner KPU, Presiden Joko Widodo
memberikan pernyataan presiden boleh kampanye, boleh memihak (Lanud Halim Perdana Kusuma, 24/1/2024).
Pernyataan presiden ini kemudian memantik kritik keras dari berbagai kalangan,
yang menganggap presiden tidak netral dan memihak ke salah satu palon. Perihal
presiden boleh kampanye hal ini diatur dalam pasal 299 undang-undang pemilu dan
ketetuan lain dalam undang-undang ini.
Keluarnya
putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan bahwa
ketua KPU dan enam anggota KPU RI lainnya melanggar etik. Perosalan etik yang
maksud dalam putusan DKPP adalah KPU tidak segera mengubah syarat calon
presiden dengan berkonsultasi kepada DPR dan Pemerintah, sebagaimana ketentuan
pasal 75 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kemudian
berita yang beredar bahwa KPU melanggar kode etik karena meloloskan Gibran
sebagai Cawapres.
Kegaduhan diatas merupakan ajang argumentasi antar elit politk, pengamat, akademisi dan simpul-simpul politik. Narasi etik menjadi diingat banyak orang, perdebatan etika politik menjadi bahan diskusi baru, meski selama tidak ada tahapan pemilu narasi etik berbangsa tidak pernah atau jarang sekali disinggung.
Protes, kritik
keras dan hujatan kepada pemerintah (baca
Presiden) dengan narasi kemunduruan demokrasi, kecurangan pelaksanaan
pemilu, matinya demokrasi, MK sebagai alat melenggangkan dinasti politik dan
lain sebagainya. Pesan moral secara berantai melingkari perguruan tinggi yang
menyatakan seruan moral penyelamatan demokrasi oleh sebagian yang
mengatasnamakan guru besar.
Nalar dan narasi
kelompok diatas ternyata berbalik dengan hasil survey kepuasan publik terhadap
kinerja pemerintah (baca Presiden Joko
Widodo), yang mana hasil survey terakhir oleh Indikator Politik sebuah lembaga
survey profesional yang dirilis tanggal 20 januari 2024, tingkat kepuasan
masyarakat diangka 79,3%, dengan rincian 16,3 sangat puas, 62,5 cukup puas,
17,2 % kurang puas, 2,4 % tidak puas dan tidak menjawan 1,1 %.
Hasil survey
kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah diatas tidak jauh berbeda dengan
hasil survey lembaga survey profesional lainnya. Kepuasan kinerja pemerintah
meningkat dari desember 2023 yang mencapai 77 % menjadi 79,3 % per Januari
2024. Artinya kepuasan masyarakat naik diatas 2 % dalam waktu 1 bulan.
Hal ini tentu
menimbulkan pertanyaan apakah narasi elit terkait prilakuJokowi (baca: pemerintah) yang dinilai memiliki
kinerja buruk berbeda dengan presepsi masyarakat yang menilai kinerja
pemerintah bagus dibuktikan dengan hasil survey diatas. Narasi etik yang
disuarakan kelompok diatas yang menyatakan pemerintah (baca: Jokowi) tidak
memberikan contoh beretika yang baik dalam bernegara berbeda dengan jawaban
masyarakat melalui hasil survey kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah.
Disatu sisi
presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan dituntut harus bersikap
negarawan, sementara banyak politisi yang duduk di senayan berperilaku tidak
sebagai seperti negarawan. Bukankah keduanya sama-sama wakil rakyat yang memegang
kekuasan diwilayah eksekutif dan legislative. Undang-undang yang dibuat merupakan
hasil kompromi politik dan atas persetujuan kedua lembaga negara ini, artinya
segala aturan norma hukum dalam bernegara menjadi tanggung jawab kedua lembaga
ini, kemudian yudikatif sebagai penjaga norma undang-undang.
Sikap negarawan
seharusnya menjadi tanggung jawab ketiga elemen diatas, bukankhan undang-undang
yang berlaku telah melalui hasil kajian dari semua norma yang berlaku dinegeri
ini. Penulis meyakini bahwa setiap pasal yang disusun dalam undang-undang
seharusnya telah dikaji dari berbagai aspek norma yang berlaku yaitu norma
agama, norma hukum, norma susila dan norma sopan santun, serta asas lainnya
yang berlaku di negara ini.
Pertanyaannya adalah, mengapa ada perbedaan presepsi antara keduanya, hal inilah yang kemudian harus dicari bersama. Apa yang diargumentasikan oleh elit dan pakar tidak sama dengan apa yang dibayangkan rakyat kecil. Oleh sebab itu mari kita cermati bersama dan dicari pokok persoalannya dengan pikiran yang lebih dingin. Salam demokrasi (*)
Editor : Alim Mustofa