Nalar Kritis Tentang Etika Antara Elit VS Rakyat Alit | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Nalar Kritis Tentang Etika Antara Elit VS Rakyat Alit

Kamis, 15 Februari 2024

 

Nalar Kritis Tentang Etika Antara Elit VS Rakyat Alit

Oleh : Alim Mustofa

Koordinator Akademi Pemilu Dan Demokrasi (APD) Kota Malang

 Artikel ini sebelumnya telah dimuat di MemoX

Alimmustofa.com - Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berbagai persoalan bangsa, khususnya pertarungan politik ditingkat elit dalam dinamika pelaksanaan pemilihan umum tahun 2024. Derasnya kritik elit politik dan kalangan akademisi yang mengatasnamakan guru besar berbagai perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta se- Indonesia. Kritik sekelompok elit politik menilai bahwa pemerintah (baca:Joko Widodo Presiden Republik Indonesia) dianggap telah merusak demokrasi dan bersikap tidak netral serta tidak beretika dalam berpolitik. Sementara kalangan akademisi menyuarakan seruan moral menjaga integritas dan etika dalam berbangsa dan ikut merawat demokrasi.


Gelombang protes mahasiswa, kritik keras sekelompok elit politik dan seruan moral dari guru besar semakin besar menjelang hari pemungutan suara pemilu tanggal 14 februari 2024. Bahkan gelombang demo sekelompok mahasiswa terus menerus mewarnai berita di televisi nasional meski tidak semua televisi nasional menjadikan peristiwa ini menjadi headline berita.


Kritik keras elit politik, seruan moral guru besar dan protes mahasiswa memiliki kesamaan tujuan yaitu mengingatkan pemerintah dalam hal ini Jokowi menjaga etika politik dalam dalam berbangsa.


Persoalan ini bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 berkenaan syarat usia calon presiden dan wakil presiden, yang dianggap sebagai upaya politik untuk memberikan jalan mulus atas pencalonan Gibran Rakabuming Raka putra Presiden Joko Widodo yang maju sebagai calon wakil presiden di pemilu tahun 2024.


Upaya melawan putusan MK telah dilakukan oleh berbagai pihak dengan mengajukan uji materi atas putusan MK yang dianggap tidak memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Hasil uji materi di MK semua ditolak atau tidak dikabulkan oleh majelis dengan alasan bahwa putusan MK merupakan upaya hukum terakhir dan tidak ada lagu ruang hukum lain, yang sifat putusannya final dan mengikat.


Belum reda perdebatan sanksi etik DKPP terhadap Komisioner KPU, Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan presiden boleh kampanye, boleh memihak (Lanud Halim Perdana Kusuma, 24/1/2024). Pernyataan presiden ini kemudian memantik kritik keras dari berbagai kalangan, yang menganggap presiden tidak netral dan memihak ke salah satu palon. Perihal presiden boleh kampanye hal ini diatur dalam pasal 299 undang-undang pemilu dan ketetuan lain dalam undang-undang ini.


Keluarnya putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan bahwa ketua KPU dan enam anggota KPU RI lainnya melanggar etik. Perosalan etik yang maksud dalam putusan DKPP adalah KPU tidak segera mengubah syarat calon presiden dengan berkonsultasi kepada DPR dan Pemerintah, sebagaimana ketentuan pasal 75 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kemudian berita yang beredar bahwa KPU melanggar kode etik karena meloloskan Gibran sebagai Cawapres.


Kegaduhan diatas merupakan ajang argumentasi antar elit politk, pengamat, akademisi dan simpul-simpul politik. Narasi etik menjadi diingat banyak orang, perdebatan etika politik menjadi bahan diskusi baru, meski selama tidak ada tahapan pemilu narasi etik berbangsa tidak pernah atau jarang sekali disinggung.


Protes, kritik keras dan hujatan kepada pemerintah (baca Presiden) dengan narasi kemunduruan demokrasi, kecurangan pelaksanaan pemilu, matinya demokrasi, MK sebagai alat melenggangkan dinasti politik dan lain sebagainya. Pesan moral secara berantai melingkari perguruan tinggi yang menyatakan seruan moral penyelamatan demokrasi oleh sebagian yang mengatasnamakan guru besar.


Nalar dan narasi kelompok diatas ternyata berbalik dengan hasil survey kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah (baca Presiden Joko Widodo), yang mana hasil survey terakhir oleh Indikator Politik sebuah lembaga survey profesional yang dirilis tanggal 20 januari 2024, tingkat kepuasan masyarakat diangka 79,3%, dengan rincian 16,3 sangat puas, 62,5 cukup puas, 17,2 % kurang puas, 2,4 % tidak puas dan tidak menjawan 1,1 %.


Hasil survey kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah diatas tidak jauh berbeda dengan hasil survey lembaga survey profesional lainnya. Kepuasan kinerja pemerintah meningkat dari desember 2023 yang mencapai 77 % menjadi 79,3 % per Januari 2024. Artinya kepuasan masyarakat naik diatas 2 % dalam waktu 1 bulan.


Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah narasi elit terkait prilakuJokowi (baca: pemerintah) yang dinilai memiliki kinerja buruk berbeda dengan presepsi masyarakat yang menilai kinerja pemerintah bagus dibuktikan dengan hasil survey diatas. Narasi etik yang disuarakan kelompok diatas yang menyatakan pemerintah (baca: Jokowi) tidak memberikan contoh beretika yang baik dalam bernegara berbeda dengan jawaban masyarakat melalui hasil survey kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah.


Disatu sisi presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan dituntut harus bersikap negarawan, sementara banyak politisi yang duduk di senayan berperilaku tidak sebagai seperti negarawan. Bukankah keduanya sama-sama wakil rakyat yang memegang kekuasan diwilayah eksekutif dan legislative. Undang-undang yang dibuat merupakan hasil kompromi politik dan atas persetujuan kedua lembaga negara ini, artinya segala aturan norma hukum dalam bernegara menjadi tanggung jawab kedua lembaga ini, kemudian yudikatif sebagai penjaga norma undang-undang.


Sikap negarawan seharusnya menjadi tanggung jawab ketiga elemen diatas, bukankhan undang-undang yang berlaku telah melalui hasil kajian dari semua norma yang berlaku dinegeri ini. Penulis meyakini bahwa setiap pasal yang disusun dalam undang-undang seharusnya telah dikaji dari berbagai aspek norma yang berlaku yaitu norma agama, norma hukum, norma susila dan norma sopan santun, serta asas lainnya yang berlaku di negara ini.


Pertanyaannya adalah, mengapa ada perbedaan presepsi antara keduanya, hal inilah yang kemudian harus dicari bersama. Apa yang diargumentasikan oleh elit dan pakar tidak sama dengan apa yang dibayangkan rakyat kecil. Oleh sebab itu mari kita cermati bersama dan dicari pokok persoalannya dengan pikiran yang lebih dingin.  Salam demokrasi (*)

Editor : Alim Mustofa