APA KABAR INTEGRITAS | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

APA KABAR INTEGRITAS

Selasa, 19 September 2023

 


APA KABAR INTEGRITAS

(Refleksi Sebuah Nilai Demokrasi)

Oleh : Alim Mustofa

Koordinator Akademi Pemiliu dan Demokrasi (APD)  Kota Malang

Artikel ini telah dipublis di Tugu Malang.com 

 

Alimmustofa.com - Kata Integritas menjadi sebuah pijakan seseorang dalam rangka menjaga sebuah nilai, sikap dan prilaku serta jati diri seorang atau seseorang dalam suatu situasi atau dalam suatu lingkup kerja, tugas dalam pengejawantahan sebuah nilai yaitu moral.


Orang dapat dikatakan berintegritas ketika prilaku sesorang diukur antara ucapan, tindakan dan ketetapan hati dalam sebuah tindakan tercermin dalam satu kesatuan yang utuh dikehidupan sehari-hari.


Implementasi Integritas dalam sebuah sistem kenegaraan atau pemerintahan menjadi sebuah norma yang wajib untuk dilaksanakan oleh pejabat politik, birokarsi atau pejabat publik.  Hal ini tak lepas dari tujuan yang ingin dicapai didirikannya sebuah negara, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial. Sehingga dengan demikian, kesepakatan ini diterjemahkan dalam policy negara yaitu  berupa konstitusi dan perundang-undangan. Konkritnya penerjemahan integritas dalam sistem pemerintahan adalah terwujudkan Good Governace dan Clean Government.


Diyakini tujuan bernegara ini akan mudah tercapai jika upaya mewujudkan Good Governace dan Clean Government cepat tercapai. Maka cita – cita mewujudkan kesejahteraan masyarakat  bukan suatu yang mustahil untuk diwujudkan.

 

Aktualisasi Nilai Integritas Dalam Pemilu


Terbentuknya pemerintahan yang baik, kokoh, legitimet, kredibel tentu tak lepas dari sebuah proses politik yang  baik dan bersih. Tak terbantahkan lagi bahwa niat yang baik didukung dengan proses yang benar sudah barang tentu akan menghasilkan capaian yang benar dan ideal, sebaliknya jika sesuatu diawali dengan niat tidak baik dan proses yang cedera tentu akan menghasilkan capaian yang cacat atau tidak baik.


Proses politik pembentukan pemerintahan dalam suatu negara diawali oleh proses politik yang dinamakan pemilihan umum, hal ini berlaku dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi.  Tak pelak lagi proses politik dalam pemilu menjadi ajang konflik poltik yang tersistem dalam sebuah peraturan perundang-undangan.


Dikatakan konflik poltik perebutan kekuasaan, karena kontestasi dalam pemilu memberikan ruang persaingan, pertentangan, pertarungan sekaligus kompromi-kompromi politik antara peserta, penyelenggara, pemerintah, kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (preasure group)  dan masyarakat.


Negara dengan keputusan politik telah mengatur sebuah sistem kontestasi politik yang telah dianggap  baik dan yang terbaik dari sekian banyaknya kompromi politik sebelum peraturan berupa undang-undang ditetapkan. Begitu pula negara telah membuat sebuah aturan kontestasi politk berupa undang-undang pemilihan umum.


Termaktup dalam pasal 4 huruf (b) Undang-Undang Nomor 7 Trahun 2023, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 disebutkan bahwa pengaturan penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berintegritas. Kemudian ditegaskan lagi dalam persyaratan untuk menjadi seorang penyelenggara pemilu, juga dipersyaratkan mempunyai sikap berintegritas ditambah berkepribadian yang kuat, jujur dan adil. Persyaratan ini berlaku bagi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), calon anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan calon Anggota Dewan Kehormatan Pemilihan Umum (DKPP).


Tidak cukup dengan penegasan diatas, undang-undang pemilu juga telah menekankan agar pemilihan umum mendapatkan hasil yang berkualitas baik dalam proses maupun hasil, pasal 2 – 3 undang-undang pemilu telah menetapkan Asas dan Prinsip Pemilu, yaitu asas pemilu meliputi Langsung,Umum, Bebas,Rahasia,Jujur dan Adil. Kemudian telaah implementasinya harus memenuhi prinsip – prinsip pemilu yaitu, mandiri, jujur, adil,berkepastian hukum, tertib, terbuka,proposional, professional, akuntabel, efektif dan efisien.


Kesemua nilai prinsip diatas dalam rangka mewujudkan pemilu yang berintegritas, jujur dan adil. Batasan nilai asas dan prinsip pemilu menjadi acuan pokok bagi penyelenggara pemilu baik oleh KPU, Bawaslu maupun DKPP.


Diyakini pemilu berintegritas akan terwujud jika terpenuhi empat syarat, yaitu integritas regulasi, integritas penyelenggaraan, integritas kontestasi dan integritas pemilih dapat berjalan beriringan.  Keempat komponen tersabut saling mempengaruhi terhadap kualitas demokrasi dalam penyelenggaran perebutan kekuasaan politik melalui pemilihan umum.


“ Proses tidak pernah mengkhianati hasil”, pepatah ini sebagai alat refleksi terhadap proses peningkatan kualitas demokrasi dalan sisi rekruitmen calon penyelenggara pemilu, baik di KPU, Bawaslu maupun DKPP. Kembali pada filosofi diatas, bahwa proses mempengaruhi hasil, proses yang baik diyakini akan menghasilkan suatu capaian yang berkualitas, juga sebaliknya.


Apakah proses penyiapan instrument demokrasi masih mengedepankan nilai moral, etika, etiket, berpijak pada norma-norma, dan niatan yang baik. Pertanyaan sunyektif ini menjadi pertanyaan umum dikalangan masyarakat luas, terutama jika kemudian disandingkan dalam menilai suatu proses perjalanan rekruitmen calon penyelenggara pemilu.


Tidak bisa dipungkir jika dalam proses rekruitmen poltik dalam menyiapkan calon penyelenggara pemilihan umum syarat diwarnai kepentingan oleh para pihak. Kepentingan yang kemudian diterjemahkan dalam realita politik bahwa sudah menjadi kelaziman jika proses-proses politik rekruitmen calon penyelenggara tak lepas dari lingkaran kepentingan simpul-simpul sosial politik oleh kelompok kepentingan, baik itu partai politik, organisasi masyarakat dengan atas nama distribusi kader, oligarki dan sebagainya.


Sudah barang tentu kompromi antara calon penyelenggara, tim seleksi, kekuatan jaringan menjadi suatu kewajaran, dengan atas nama “ Lumrah” atau wajar. Ketika kepentingan-kepentingan kelompok diatas dipertemukan dalam sebuah kata “ kepentingan prakmatis”, maka capaian ideal diatas menjadi sebuah keniscayaan. Antar pihak saling megunci syarat komprominya. Bisa jadi nafsu politiknya lebih kuat dari pada aspek – aspek moral, integritas, etika dan norma-norma baik lainnya.


Jika semua terjadi demikian, kiranya kata integritas terpasung atas kepentingan-kepentingan prakmatisme. Sebab kesepakatan-kesepakatan dianggap lumrah mengabaikan norma dan nilai kebaikan. Sumpah jabatan dibawah kitab suci atas nama Tuhan menjadi proses formalitas, mengingkari sumpah atas nama kepentingan menjadi lazim.


Jika dulu kita diajarkan bersikap jujur, lurus, beretika dengan berpedoman norma-norma yang berlaku, kini rasanya banyak pergeseran – pergeseran makna. Mungkin tidak bergeser makna secara substantive, akan tetapi pergeseran makna untuk kepentingan prakmatis. Pertanyaannya, masihkan diperlukan nilai etika moral, kejujuran diajarkan untuk generasi berikutnya. Atau perlukah membuat nilai baru atas definisi moral, kejujuran, integritas, sopan santun mendasarkan kepentingan kekinian.


Seseorang terpilih dalam proses politik bukan karena integrity, morality, personality, professionality, akan tetapi seseorang terpilih dalam sebuah proses politik hanya karena tegak lurus terhadap kepentingan kelompok meskipun dalam tanda kutip bodoh. Dengan demikian pertanyaan apa kabar integritas menjadi pertanyaan kerinduan publik akan terwujudnya cita-cita luhur suatu bangsa. (*)

 

Editor : Alim Mustofa