Artikel ini sebelumnya telah dimuat di koran Memorandum Arema, edisi 24 Oktober 2023
Alimmustofa.com – Terjadinya jeda
waktu yang Panjang pasca penetapan partai politik sebagai peserta pemilu sejak 14
desember 2022 sampai dengan 4 november 2023, menimbulkan problem permukaan yang
cukup serius. Tidak diaturnya secara spesifik tahapan pasca penetapan partai
politik sebagai peserta pemilu sebelum masa
kampanye menjadi kegamangan semua pihak terutama partai politik dan bakal calon
legislative, untuk melakukan apa yang dinamakan sosialisasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 79 peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 Tentang Kampanye
Pemilihan Umum. Dimana pada ayat 1 ditegaskan bawah partai politik peserta
pemilu dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan politik diinternal partai
politik sebelum masa kampanye,
selanjutnya dalam sosialisasi dan Pendidikan politik menggunakan metode; a.Pemasangan
bendera partai peserta pemilu dan nomornya.b.Pertemuan terbatas.
Kondisi ini kemudian direspon
oleh bakal caleg ramai-ramai memasang alat peraga, yang rata-rata memuat gambar
partai dan nomor urut, foto caleg dan nomor urut bakal caleg, slogan atau visi
-misi. Alat peraga yang dimaksud adalah berupa spanduk, baliho, baner dll.
Pemasangan yang alakadarnya kemudian menimbulkan pro-kontra dikalangan
masyarakat, instansi pemerintahan dan penyelenggara pemilu. Saling lempar
kewenangan antara KPU dan Bawaslu didaerah semakin menimbulkan kegaduhan di
masyarakat awam, terutama diawal penetapan daftar calon sementara (DCS).
Pada akhirnya dibuat kesepahaman,
bahwa penertiban alat peraga yang dipasang oleh partai politik atau oleh bakal
calon merupakan kewenangan pemerintah daerah dengan payung hukum peraturan
daerah (perda) atau peraturan walikota/bupati yang mengatur tentang periklanan
atau sebutan lain. Akan tetapi penjelasan kepada publik oleh penyelenggara masih
belum dapat diterima dengan legowo, masih banyak pertanyaan dari media tentang
status pemasangan alat peraga oleh bakal calon saat ini seperti apa, melanggar
atau tidak. Pemahaman umum pemasangan alat peraga bakal calon atau partai
politik dimasa sebelum tahapan kampanye adalah kampanye diluar jadwal atau curi start kampanye istilah populernya.
Perihal ini berlaku serentak diwilayah kabupaten/kota se-Indonesia, dimana jajaran KPU menyatakan bahwa alat peraga yang terpasang oleh bakal caleg adalah urusan Bawaslu, sementara Bawaslu tidak bisa menertibkan karena masih belum penetapan daftar calon tetap (DCT) oleh KPU RI, artinya mereka bukanlah calon atau masih bakal calon. Dalam ketentuan pasal 1 ayat 27 bahwa peserta pemilu adalah partai politik untuk calon anggota DPR, anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD kabupaten/kota,perseorangan untuk calon anggota DPD,dan pasangan calon yang diusulkan partai politik atai gabungan partai politik untuk pemilu presiden dan wakil presiden.
Sementara metode kampanye dalam pasal 275 Undang-undang pemilu, mengatur tatacara kampanye dengan menentukan
metode kampanye dalam 9 kegiatan, yaitu; a.
pertemuan terbatas, b. pertemuan tatap muka,c. penyebaran bahan kampanye kepada
umum, d. pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum, e. media sosial, f.
iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet;g. rapat umum, h.
debat Pasangan Calon tentang materi kampanye Pasangan Calon; dan i. kegiatan
lain yang tidak melanggar larangan Kampanyq , Pemilu dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 275 ini dimaksud mengatur metode
kampanye, maka untuk mendukung metode kampanye huruf c dan d kemudian ada
istilah alat peraga kampanye (APK) dan Bahan Kampanye (BK). Alat peraga
kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat 3 setidaknya memuat
visi,misi, program dan/atau citra diri. Jadi jelaslah definisi APK dalam
ketentuan perundang-undangan pemilu, baik dalam undang-undang pemilu maupun
dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum.
Alat Peraga Sosialisasi (APS)
Maraknya alat peraga yang
dipasang oleh bakal caleg menimbulkan polemik publik, tudingan curi start
kampanye menjadi kelaziman disampaikan masyarakat merespon situasi yang
seolah-olah sudah tahapan kampanye. Begitu juga penindakan oleh satpol PP atas
pemasangan alat peraga ini, juga menyisakan banyak perdebatan.
Respon oleh salah seorang anggota
Bawaslu RI di portal rri.co.id menyatakan bahwa alat peraga yang sekarang
dipasang adalah bukan alat peraga kampanye, akan tetapi alat peraga sosialisasi
(APS). Karena dimasa sebelum tahapan kampanye adalah masa sosialisasi, oleh
sebab itu partai politik dapat melakukan sosialisasi dengan cara memasang
berdera partai dan nomor urutnya, atau melalui dengan melaksanakan pertemuan
terbatas.
Lalu munculnya istilah alat
peraga sosialisasi (APS) yang disampaikan oleh Bawaslu RI ini dasarnya apa,
karena istilah alat peraga sosialisasi (APS) tidak ada dalam undang-undang
pemilu maupun peraturan KPU. Alat peraga kampanye relevan dengan metode
kampanye dan tahapan kampanye, sedangkan APS tidak memiliki sandaran dalam
tahapan penyelenggaraan pemilu, mengingat dalam tahapan penyelenggaraan pemilu
tidak ada tahapan sosialisai untuk peserta pemilu. Maka istilah alat peraga
sosialisasi menjadi tidak relevan dan terkesan memaksa, yang kemudian
membingungkan publik.
Banyak yang bertanya, apa
perbedaan alat peraga kampanye dengan alat peraga sosialisasi, sementara
istilah alat peraga sosialisasi tidak memiliki sandaran hukum yang jelas.
Sebagai pejabat dilembaga yang memilki tugas, wewenang dalam hal pengawasan pemilu, seharusnya tidak membuat istilah yang tidak memiliki landasan hukum.
Istilah alat peraga sosialisasi
(APS) yang sekarang sering kita dengarkan atau kita baca di statemen Bawaslu,
tidaklah memiliki dasar yang kuat sebagai suatu norma hukum, pendefinisian APS
menjadi tidak memiliki tidak terukur karena tidak memilki sandaran atau latar
belakang aturan yang jelas.(*)
Editor : Alim Mustofa