Tindak Pidana Politik Uang dalam Pilkades | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Tindak Pidana Politik Uang dalam Pilkades

Jumat, 04 Oktober 2019




Alimmustofa.com - Undang -Undang  Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menegaskan bahwa kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa dalam suatu pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Hal yang sering disoroti dalam pemilihan kepala desa adalah penggunaan “politik uang”. Dalam banyak pengaturan rekruitmen jabatan yang dipilih banyak diatur tentang norma larangan penggunaan politik uang. Ketentuan tersebut dapat kita lihat mulai dari pemilihan Presiden maupun kepala daerah Gubernur dan wakil Gubernur sampai pemilihan Walikota-wakil walikota dan Bupati-wakil Bupati.  Begitu juga dalam pemilihan umum legislatif, mulai dari DPR, DPD dan DPRD diatur tentang norma larangan politik uang. Dalam pemilihan legislatif berdasarkan UU 17 Tahun 2017 bahkan ada penegakan hukum secara adminstratif dan secara hukum pidana terhadap pelanggaran norma larangan politik uang. Proses administrasi berupa pembatalan calon dan penegakan hukumpidana tidak saling menegasikan, bisa berjalan secara beriringan.
Bagaimana dengan pengaturan politik uang dalam pemilihan kepala desa? UU Desa tidak mengatur. Peraturan Pemerintah yang menjadi aturan pelaksana dari UU Desa juga tidak mengatur, baik PP No. 43 tahun 2014, PP No. 47 tahun 2015, maupun perubahan yang kedua pada PP No. 11 tahun 2019. Peraturan Daerah yang diberikan mandat atributif oleh undang-undang untuk menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak, di seluruh kabupaten/kota juga tidak mengatur terkait politik uang, baik dalam dimensi hukum administratif maupun hukum pidana. Bagaimana solusi hukumnya? Kita masih punya KUHP tentu saja.
Mari kita tengok KUHP kita. Pasal 149 ayat (1) dan (2) bisa menjadi pemecah dari kebuntuan penegakan hukum dalam politik uang pada pemilihan kepala desa.
Pasal 149 ayat (1): Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara yang tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.
Pemilihan kepala desa tentu masuk di dalam kategori pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum. Pemilihan kepala desa didasarkan kepada peraturan yang bersifat umum mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, sampai Peraturan Bupati.  Unsur perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 149 ayat (1) KUHP adalah:
2.      Menyuap seseorang;

supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak memilih menurut cara tertentu. Dalam peristiwa konkrit tindak pidana politik uang, unsur tindakan baik memberi atau menjanjikan sesuatu atau menyuap seseorang pemilih dapat dilakukan dengan tujuan:
2.      agar pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, atau
3.      pemilih memilih calon tertentu, atau
4.      memilih dengan menggunakan cara tertentu sehingga surat suara pemilihan menjadi tidak sah.

Dalam prakteknya penegakan hukum terhadap tindak pidana politik uang baik  dalam pemilu presiden dan legislatif maupun pemilihan kepala daerah sering tidak mudah. Problem tersebut lebih merupakan problem struktur penegakan hukum yang sering tidak responsif dan kehilangan momentum dalam melakukan penegakan hukum. Faktor yang juga signifikan adalah masih banyak bagian masyarakat kita yang abai dengan tindak pidana politik uang. Sedikit diantara anggota masyarakat yang mau memberikan kesaksian dalam hal terjadi tindak pidana politik uang. Dalam konteks pemilihan kepala desa politik uang cenderung dibiarkan. Secara substansi hukum politik uang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Desa Dalam penegakan hukum juga sering luput dari perhatian penegak hukum.
Dalam konteks pemilihan kepala desa berdasar catatan penulis penggunaan pasal 149 KUHP belum ada presedennya. Sebagai ikhtiar penegakan hukum upaya ini penting dan strategis dilakukan. Jika dicermati pasal 149 KUHP  merupakan delik formil yang aspek pembuktian terjadinya politik uang akan lebih mudah bila dibandingkan kalau delik politik uang dirumuskan sebagai delik materiel. Bagi Penegak hukum tidak perlu kemudian mengejar akibat konstitutif dari tindak pidana politik uang terjadi. Bisa saja seseorang memberi atau menjanjikan atau menyuap seseorang namun seseorang yang diberi tersebut tidak melakukan apa yang langsung diminta oleh pemberi.
Akan sangat sulit tentu bagi penegak hukum kalau harus membuktikan hal tersebut. Maka cukuplah kalau dibuktikan perbuatan pemberi berupa “memberi atau menjanjikan sesuatu” atau “menyuap seseorang” pemilih agar  melakukan satu dari empat  kemungkinan akibat konstitutif yang ada yaitu: agar pemilih memilih calon tertentu, atau agar pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, atau pemilih memilih calon tertentu, atau memilih dengan menggunakan cara tertentu sehingga surat suar a pemilihan menjadi tidak sah. Tanpa harus dibuktikan penerima janji atau pemberian atau suap melakukan apa terkait hak pilihnya. Delik politik uang pada pemilihan kepala desa bisa diterapkan pada saat setelah ditetapkan pencalonan sampai berakhirnya pemungutan suara pemilihan kepala desa.
Hal yang patut dicermati adalah pengaturan di ayat (2) halmana penerima politik uang ikut terancam pidana. Dalam kondisi budaya hukum yang belum terbentuk baik maka ketentuan ini harus diberlakukan secara bijak. Jangan sampai pisau hukum pidana justru mengenai masyarakat awam yang menerima suap politik. Dalam hukum terdapat asas fiksi hukum bahwa setiap orang dianggap tahu tentang hukum. Namun menerapkan delik  politik uang dalam pemilihan kepala desa terhadap penerima pemberian suap politik itu bisa berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi si penerima.
Dalam konteks pembuktian, penerima yang juga diancam pidana akan cenderung menyulitkan proses pembuktian dimaksud karena kesulitan alat bukti saksi. Orang yang menerima pemberian akan takut memberi pengakuan dan lebih dari itu takut bersaksi bahwa telah terjadi politik uang, karena terancam pidana juga. Hal ini harus dipikirkan oleh penegak hukum.
Solusi yang mungkin diambil oleh penegak hukum, terutama kejaksaan dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP bisa  menutup perkara demi kepentingan hukum. Dalam hal ini penuntut umum dapat mengesampingkan perkara politik uang yang mengenai penerima pemberian suap politik tersebut. Syarat mengesampingkan perkara itu harus dilakukan secara konsisten dan tidak dengan standar ganda semata melihat kepentingan hukum yang lebih besar.
Hukum pidana berfungsi melindungi kepentingan individu, masyarakat dan negara. Dengan ditegakkannya  pasal 149 KUHP terhadap tindak pidana politik uang dalam pemilihan kepala desa diharapkan dapat mewujudkan pemilihan kepala desa yang berintegritas dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu akan memberi jaminan kepada warga desa untuk mendapatkan pemimpin lokal yang berintegritas dan tidak sibuk memulihkan modal politik ketika menjabat sehingga akan benar-benar menerapkan filosofi sebagai pamong masyarakat.
Pertanyaan yang masih menggantung adalah bagaimana implikasi hukum tindak pidana politik uang yang sudah berkekuatan hukum tetap terhadap proses pencalonan pilkades? Apakah calon kepala desa yang terbukti melakukan politik uang secara hukum dapat dibatalkan pencalonannya, bahkan kemenangannya? Bagian kedua dari tulisan ini akan membahas isu hukum tersebut.

Wallau a'lam.
Publiser : Alimmustofa.com