Alimmustofa.com - Undang -Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menegaskan
bahwa kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa dalam suatu pemilihan
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Hal yang sering disoroti
dalam pemilihan kepala desa adalah penggunaan “politik uang”. Dalam banyak
pengaturan rekruitmen jabatan yang dipilih banyak diatur tentang norma larangan
penggunaan politik uang. Ketentuan tersebut dapat kita lihat mulai dari
pemilihan Presiden maupun kepala daerah Gubernur dan wakil Gubernur sampai
pemilihan Walikota-wakil walikota dan Bupati-wakil Bupati. Begitu juga dalam pemilihan umum legislatif,
mulai dari DPR, DPD dan DPRD diatur tentang norma larangan politik uang. Dalam
pemilihan legislatif berdasarkan UU 17 Tahun 2017 bahkan ada penegakan hukum
secara adminstratif dan secara hukum pidana terhadap pelanggaran norma larangan
politik uang. Proses administrasi berupa pembatalan calon dan penegakan hukumpidana tidak saling menegasikan, bisa berjalan secara beriringan.
Bagaimana
dengan pengaturan politik uang dalam pemilihan kepala desa? UU Desa tidak
mengatur. Peraturan Pemerintah yang menjadi aturan pelaksana dari UU Desa juga
tidak mengatur, baik PP No. 43 tahun 2014, PP No. 47 tahun 2015, maupun
perubahan yang kedua pada PP No. 11 tahun 2019. Peraturan Daerah yang diberikan
mandat atributif oleh undang-undang untuk menetapkan kebijakan pelaksanaan
pemilihan Kepala Desa secara serentak, di seluruh kabupaten/kota juga tidak
mengatur terkait politik uang, baik dalam dimensi hukum administratif maupun
hukum pidana. Bagaimana solusi hukumnya? Kita masih punya KUHP tentu saja.
Mari
kita tengok KUHP kita. Pasal 149 ayat (1) dan (2) bisa menjadi pemecah dari
kebuntuan penegakan hukum dalam politik uang pada pemilihan kepala desa.
Pasal
149 ayat (1): Barang siapa pada
waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau
supaya memakai hak itu menurut cara yang tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
(2)
Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian
atau janji, mau disuap.
Pemilihan
kepala desa tentu masuk di dalam kategori pemilihan berdasarkan aturan-aturan
umum. Pemilihan kepala desa didasarkan kepada peraturan yang bersifat umum
mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, sampai
Peraturan Bupati. Unsur perbuatan yang
dirumuskan dalam pasal 149 ayat (1) KUHP adalah:
2. Menyuap
seseorang;
supaya
tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak memilih menurut cara
tertentu. Dalam peristiwa konkrit tindak pidana politik uang, unsur tindakan
baik memberi atau menjanjikan sesuatu atau menyuap seseorang pemilih dapat
dilakukan dengan tujuan:
2. agar
pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, atau
3. pemilih
memilih calon tertentu, atau
4. memilih
dengan menggunakan cara tertentu sehingga surat suara pemilihan menjadi tidak
sah.
Dalam
prakteknya penegakan hukum terhadap tindak pidana politik uang baik dalam pemilu presiden dan legislatif maupun
pemilihan kepala daerah sering tidak mudah. Problem tersebut lebih merupakan
problem struktur penegakan hukum yang sering tidak responsif dan kehilangan
momentum dalam melakukan penegakan hukum. Faktor yang juga signifikan adalah
masih banyak bagian masyarakat kita yang abai dengan tindak pidana politik
uang. Sedikit diantara anggota masyarakat yang mau memberikan kesaksian dalam
hal terjadi tindak pidana politik uang. Dalam konteks pemilihan kepala desa
politik uang cenderung dibiarkan. Secara substansi hukum politik uang tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Desa Dalam penegakan hukum
juga sering luput dari perhatian penegak hukum.
Dalam
konteks pemilihan kepala desa berdasar catatan penulis penggunaan pasal 149
KUHP belum ada presedennya. Sebagai ikhtiar penegakan hukum upaya ini penting
dan strategis dilakukan. Jika dicermati pasal 149 KUHP merupakan delik formil yang aspek pembuktian terjadinya
politik uang akan lebih mudah bila dibandingkan kalau delik politik uang
dirumuskan sebagai delik materiel. Bagi Penegak hukum tidak perlu kemudian
mengejar akibat konstitutif dari tindak pidana politik uang terjadi. Bisa saja
seseorang memberi atau menjanjikan atau menyuap seseorang namun seseorang yang
diberi tersebut tidak melakukan apa yang langsung diminta oleh pemberi.
Akan
sangat sulit tentu bagi penegak hukum kalau harus membuktikan hal tersebut. Maka
cukuplah kalau dibuktikan perbuatan pemberi berupa “memberi atau menjanjikan
sesuatu” atau “menyuap seseorang” pemilih agar
melakukan satu dari empat
kemungkinan akibat konstitutif yang ada yaitu: agar pemilih memilih
calon tertentu, atau agar pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, atau pemilih
memilih calon tertentu, atau memilih dengan menggunakan cara tertentu sehingga
surat suar a pemilihan menjadi tidak sah. Tanpa harus dibuktikan penerima janji
atau pemberian atau suap melakukan apa terkait hak pilihnya. Delik politik uang
pada pemilihan kepala desa bisa diterapkan pada saat setelah ditetapkan
pencalonan sampai berakhirnya pemungutan suara pemilihan kepala desa.
Hal
yang patut dicermati adalah pengaturan di ayat (2) halmana penerima politik
uang ikut terancam pidana. Dalam kondisi budaya hukum yang belum terbentuk baik
maka ketentuan ini harus diberlakukan secara bijak. Jangan sampai pisau hukum
pidana justru mengenai masyarakat awam yang menerima suap politik. Dalam hukum
terdapat asas fiksi hukum bahwa setiap orang dianggap tahu tentang hukum. Namun
menerapkan delik politik uang dalam
pemilihan kepala desa terhadap penerima pemberian suap politik itu bisa
berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi si penerima.
Dalam
konteks pembuktian, penerima yang juga diancam pidana akan cenderung
menyulitkan proses pembuktian dimaksud karena kesulitan alat bukti saksi. Orang
yang menerima pemberian akan takut memberi pengakuan dan lebih dari itu takut bersaksi
bahwa telah terjadi politik uang, karena terancam pidana juga. Hal ini harus
dipikirkan oleh penegak hukum.
Solusi
yang mungkin diambil oleh penegak hukum, terutama kejaksaan dengan
kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP bisa menutup perkara demi kepentingan hukum. Dalam
hal ini penuntut umum dapat mengesampingkan perkara politik uang yang mengenai
penerima pemberian suap politik tersebut. Syarat mengesampingkan perkara itu
harus dilakukan secara konsisten dan tidak dengan standar ganda semata melihat
kepentingan hukum yang lebih besar.
Hukum
pidana berfungsi melindungi kepentingan individu, masyarakat dan negara. Dengan
ditegakkannya pasal 149 KUHP terhadap tindak
pidana politik uang dalam pemilihan kepala desa diharapkan dapat mewujudkan
pemilihan kepala desa yang berintegritas dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih
dari itu akan memberi jaminan kepada warga desa untuk mendapatkan pemimpin
lokal yang berintegritas dan tidak sibuk memulihkan modal politik ketika
menjabat sehingga akan benar-benar menerapkan filosofi sebagai pamong
masyarakat.
Pertanyaan
yang masih menggantung adalah bagaimana implikasi hukum tindak pidana politik
uang yang sudah berkekuatan hukum tetap terhadap proses pencalonan pilkades?
Apakah calon kepala desa yang terbukti melakukan politik uang secara hukum
dapat dibatalkan pencalonannya, bahkan kemenangannya? Bagian kedua dari tulisan
ini akan membahas isu hukum tersebut.
Wallau
a'lam.
Publiser : Alimmustofa.com