Apakah Menjadi Perempuan Adalah Kutukan? | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Apakah Menjadi Perempuan Adalah Kutukan?

Kamis, 24 Maret 2022

Ilustrasi "Apakah Menjadi Perempuan Adalah Kutukan?" diambil dari ARTIFILE.ME

Ika adalah ibu dua orang anak, yang merasa perlakuan tidak adil atas situasi sosial budaya, adat dimana ia tinggal. dia merasa hak-hak sebagai perempuan dirampas oleh budaya patriarkhi modern. dimana prilaku budaya dan adat istiadat masih dipegang penuh oleh kaum konservatif.
 

Apakah Menjadi Perempuan Adalah Kutukan?

Oleh : Sulfie


Hari perempuan internasional 10 maret 2022 seharusnya menjadi momen membahagiakan bagi seluruh perempuan dan rakyat pada umumnya, namun sejak di deklarasIkan seabad yang lalu sampai saat ini, perempuan belum lepas dari belenggu tindasan yang dilakukan oleh sistem sosial, sehingga kemerdakaan bagi  kebanyakan perempuan adalah kata-kata yang dinilai omong kosong.


Dalam belenggu kebudayaan terbelakang patriarki,perempuan mengalami deskriminasi yang jauh berkali lipat. Ada sebuah stereotip yang menempatkan perempuan hanya di tiga tempat, yaitu kasur,sumur dan dapur. Hal ini diamini oleh kebanyakan masyarakat , seperti yang di rasakan Ika Purnamasari (26) seorang ibu dari dua anak. Ika merupakan anak pertama dan memiliki satu adik laki-laki, Ika juga mempunyai anak laki laki Ahmad berusia 5 tahun dan Intan anak perempuan berusia 2 tahun.


Ika bercerita,bahwa sejak kecil dirinya sudah merasa bukan pemilik penuh atas dirinya sendiri. Pejalanan menjadi seorang perempuan tidak mudah untuknya, mungkin banyak juga wanita selain dia merasakan hal yang sama,di mana perempuan menjadi manusia kelas dua setelah laki-laki.


“ Keberadaan kita sebagai perempuan hanya menjadi pernak pernik dalam dunia ini,” keluh Ika sembari menggendong si Intan bayi cantik dengan rambut Ikalnya.


Sejak kecil, Ika mulai menyadari,menjadi perempuan bukanlah previllege tetapi serasa kutukan baginya. Saat berumur 7 tahun, dia mengaku sangat menyukai olahraga seperti sepak bola, tetapi hobinya itu dirampas oleh orang tuanya hanya karena dia anak perempuan. Dia harus memilih bermain boneka dari pada sepak bola yang di anggap milik laki-laki. Tidak hanya itu, orang-orang kerap mencemoohnya hanya karena dia mempunyai jiwa maskulin. Saat ada teman yang mengganggunya, Ika seorang wanita rambut pendek sebahu, berperawakan tinggi kurus tak segan-segan menghantam wajah temannya. Lagi-lagi dia disalahkan dengan alasan wanita harus bersIkap anggun, padahal menurut Ika, kalau memang memukul itu tidak di perbolehkan seharusnya tidak perlu menggunakan embel-embel kata “perempuan” untuk menegurku.


Hal yang terberat menjadi seorang wanita, dirasakan ketIka dia berumur 20 tahun, setelah kecewa dengan pertimbangan kedua orang tuanya untuk tidak melanjutkan pendidIkannya. Padahal Ika adalah sosok anak yang rajin dan pintar di sekolah, dia tidak mendapatkan hak pendidIkan, hanya karena dia perempuan, yang katanya sudah fitrahnya sebagai seorang perempuan itu di rumah saja. Tidak hanya itu,dia juga dijodohkan oleh pilihan orang tuanya, padahal Ika sudah mempunyai laki laki di hatinya, orang tuanya menjodohkannya karena mereka merasa lebih paham mana yang terbaik untuk anak perempuannya. Ika merasa hancur dan sangat menderita,sIkap orang tuanya kepadanya sangatlah berbeda dengan sIkap kepada saudara laki lakinya.


”apakah hanya karena aku perempuan? lantas kenapa jIka aku permpuan? Aku..seorang yang tak merasa memiliki diriku sendiri,seharusnya aku seorang perempuan mampu dan diberIkan kepercayaan atas piihanku sendiri,mana permainan yang akan ku senangi,bagaimana saya harus menata masa depan, dan dengan siapa saya harus menjalani hidup,dunia sangat tidak adil” curhat Ika sambil menangis mengingat hal itu.


Tidak berhenti sampai situ, saat dia menjalani hubungannya sampai mempunyai 2 anak, dia belum di berIkan kesempatan oleh suaminya untuk mandiri dengan mempunyai penghasilan sendiri. yaa...lagi-lagi berpatokan pada paham tentang istri itu tempatnya cukup di kasur,sumur,dan dapur. Sehingga ketIka suaminya memutuskan untuk menIkah lagi, Ika semakin merasa dunia ini terlalu kejam untuknya. Suaminya mengatakan dengan mengijinkan poligami, maka dia akan mudah untuk mendaptkan surga allah.”kurasa tidak mungkin agama merendahkan wanita seperti itu, kurasa agama tidak mungin menjual surganya untuk menindas seorang wanita’’ujar Ika. Namun apalah daya, Ika hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak, dia merasa tidak bisa pergi dari hubungan menyakitkan itu, karena hidupnya masih bergantung kepada suaminya.


Dari banyaknya luka yang dia alami, sambil meghapus air mata yang membasahi pipinya, matanya berbinar seraya penuh harapan. Dia berjanji akan menjadi ibu yang baik bagi kedua anaknya, tidak akan membeda-bedakan keduanya. Ika akan terus mendukung mereka tumbuh dan berdaya, sehingga anak perempuan dan laki-lakinya menjadi anak yang mengenal lawan jenisnya sebagai relasi setaranya.(slf)

Editor : Alim Mustofa