Apakah Menjadi Perempuan Adalah Kutukan?
Hari perempuan
internasional 10 maret 2022 seharusnya menjadi momen membahagiakan bagi seluruh
perempuan dan rakyat pada umumnya, namun sejak di deklarasIkan seabad yang lalu
sampai saat ini, perempuan belum lepas dari belenggu tindasan yang dilakukan
oleh sistem sosial, sehingga kemerdakaan bagi
kebanyakan perempuan adalah kata-kata yang dinilai omong kosong.
Dalam belenggu
kebudayaan terbelakang patriarki,perempuan mengalami deskriminasi yang jauh
berkali lipat. Ada sebuah stereotip yang menempatkan perempuan hanya di tiga
tempat, yaitu kasur,sumur dan dapur. Hal ini diamini oleh kebanyakan masyarakat
, seperti yang di rasakan Ika Purnamasari (26) seorang ibu dari dua anak. Ika merupakan
anak pertama dan memiliki satu adik laki-laki, Ika juga mempunyai anak laki laki
Ahmad berusia 5 tahun dan Intan anak perempuan berusia 2 tahun.
Ika bercerita,bahwa
sejak kecil dirinya sudah merasa bukan pemilik penuh atas dirinya sendiri. Pejalanan
menjadi seorang perempuan tidak mudah untuknya, mungkin banyak juga wanita
selain dia merasakan hal yang sama,di mana perempuan menjadi manusia kelas dua
setelah laki-laki.
“ Keberadaan
kita sebagai perempuan hanya menjadi pernak pernik dalam dunia ini,” keluh Ika
sembari menggendong si Intan bayi cantik dengan rambut Ikalnya.
Sejak kecil, Ika mulai menyadari,menjadi perempuan
bukanlah previllege tetapi serasa kutukan baginya. Saat berumur 7 tahun, dia
mengaku sangat menyukai olahraga seperti sepak bola, tetapi hobinya itu dirampas
oleh orang tuanya hanya karena dia anak perempuan. Dia harus memilih bermain
boneka dari pada sepak bola yang di anggap milik laki-laki. Tidak hanya itu, orang-orang
kerap mencemoohnya hanya karena dia mempunyai jiwa maskulin. Saat ada teman
yang mengganggunya, Ika seorang wanita rambut pendek sebahu, berperawakan
tinggi kurus tak segan-segan menghantam wajah temannya. Lagi-lagi dia disalahkan
dengan alasan wanita harus bersIkap anggun, padahal menurut Ika, kalau memang
memukul itu tidak di perbolehkan seharusnya tidak perlu menggunakan embel-embel
kata “perempuan” untuk menegurku.
Hal yang terberat
menjadi seorang wanita, dirasakan ketIka dia berumur 20 tahun, setelah kecewa
dengan pertimbangan kedua orang tuanya untuk tidak melanjutkan pendidIkannya. Padahal Ika adalah sosok anak
yang rajin dan pintar di sekolah, dia tidak mendapatkan hak pendidIkan, hanya karena dia perempuan, yang katanya sudah fitrahnya sebagai seorang perempuan itu di
rumah saja. Tidak hanya itu,dia juga dijodohkan oleh pilihan orang tuanya, padahal Ika sudah mempunyai
laki laki di hatinya, orang tuanya menjodohkannya karena mereka merasa lebih
paham mana yang terbaik untuk anak perempuannya. Ika merasa hancur dan sangat
menderita,sIkap orang tuanya kepadanya sangatlah berbeda dengan sIkap kepada
saudara laki lakinya.
”apakah hanya karena
aku perempuan? lantas kenapa jIka aku permpuan? Aku..seorang yang tak merasa
memiliki diriku sendiri,seharusnya aku seorang perempuan mampu dan diberIkan
kepercayaan atas piihanku sendiri,mana permainan yang akan ku senangi,bagaimana
saya harus menata masa depan,
dan dengan siapa saya harus menjalani
hidup,dunia sangat tidak adil” curhat Ika sambil menangis mengingat hal itu.
Tidak berhenti sampai situ, saat dia menjalani hubungannya
sampai mempunyai 2 anak, dia belum di berIkan kesempatan oleh suaminya untuk
mandiri dengan mempunyai penghasilan sendiri. yaa...lagi-lagi berpatokan
pada paham tentang istri itu tempatnya cukup di kasur,sumur,dan dapur. Sehingga
ketIka suaminya memutuskan untuk menIkah lagi, Ika semakin merasa dunia ini
terlalu kejam untuknya.
Suaminya
mengatakan dengan mengijinkan poligami, maka dia akan mudah untuk mendaptkan
surga allah.”kurasa tidak mungkin agama merendahkan wanita seperti itu, kurasa
agama tidak mungin menjual surganya untuk menindas seorang wanita’’ujar Ika.
Namun apalah daya, Ika
hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak, dia merasa tidak bisa pergi
dari hubungan menyakitkan itu, karena hidupnya masih bergantung kepada suaminya.
Dari banyaknya luka
yang dia
alami, sambil meghapus air mata yang membasahi pipinya, matanya berbinar seraya
penuh harapan. Dia berjanji akan menjadi ibu yang baik bagi kedua anaknya, tidak
akan membeda-bedakan keduanya.
Ika akan terus
mendukung mereka tumbuh dan berdaya, sehingga anak perempuan dan laki-lakinya
menjadi anak yang mengenal lawan jenisnya sebagai relasi setaranya.(slf)
Editor : Alim Mustofa