WAJAH PENYELENGGARAAN DEMOKRASI LOKAL DI INDONESIA | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

WAJAH PENYELENGGARAAN DEMOKRASI LOKAL DI INDONESIA

Rabu, 02 Oktober 2019





Pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/ Wakil Wali Kota yang disebut sebaga Pemilihan Kepala Daerah dipilih secara demokratis, sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.  Terkait Kalimat “dipilih secara demokratis” memiliki dua makna. Makna (1) bahwa  kepala daerah dipilih melalui  perwakilan di lembaga legislatif, (2) kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Selanjutnya, pembentuk undang undang yakni Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden, sepakat memaknai kalimat “dipilih secara demokratis” yaitu dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Pemilihan Kepala Daerah langsung ( Pemilukada) adalah urusan penyelenggaran pemerintah daerah, yang diatur dalam Undang Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. serta diperkuat dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yanng  menggolongkan pemilihan kepala daerah masuk rezim pemilihan umum yang selanjutnya diperkuat dengan lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemda, namun saat ini kedua undang-undang tersebut sudah tidak berlaku lagi. Pemilukada bagian dari pemilu memiliki konsekuensi bahwa : 1) Penyelengaraan pemilukada, sebagaimana pemilu lainya berada dalam satu rezim penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang bersifat hirerarkis. 2) Terkait perselisihan hasil pilkada yang berdasarkan Pasal 236C Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 dialihkan wewenang mengadilinya dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Berdasar Pasal 22 E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tentang pemilihan umum, menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memililh anggota DPR, DPD, Presiden beserta Wakil Presiden, dan DPRD. Dalam hal ini tidak menyebutkan secara eksplisit terkait pemilihan kepala daerah, maka keluarlah Keluarlah putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah bukan bagian dari  pemilu sehingga penyebutanya berubah menjadi Pilkada. Konsekuensinya bahwa  penyelesaian perselisihan pemilihan kepala daerah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Berdasar gambaran diatas bahwa Secara konstitusi pemilihan kepala daerah bukan bagian dari pemilu, mengingat bahwa pengaturan  tentang  pilkada  diatur pada  Bab  yang  terpisah  yaitu  pada  Bab  VI  Pemerintahan  Daerah  Pasal  18 ayat  (4)  UUD  1945. Artinya,  konstitusi  tidak  memasukkan  pilkada  dalam bab  yang  mengatur  tentang  pemilu tetapi secara realitas (pelaksanaan) selama ini yang terjadi dimasyarakat bahwa penyelenggaran  pemilihan kepala daerah masih sama dengan pemilu. secara realita (pelaksanaan) selama ini bahwa pemilihan kepala daerah masih merupakan bagian dari pemilu. hal ini bisa dilihat dari: 1) penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) hal ini sama dengan penyelenggaraan pemilu (merujuk pada Pasal 22 E UUD NRI Tahun 1945). 2) terkait penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (sama halnya dengan pemilu). sejatinya kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil pilkada bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi(Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945). Karena secara konstitusi kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili  pada  tingkat  pertama  dan  terakhir  yang putusannya bersifat final untuk (a)Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945; (b) Memutus  sengketa  kewenangan  lembaga  negara  yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar; (c) Memutus pembubaran partai politik, dan (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Menurut A. Mukthie Fadjar dalam bukunya yang berjudul pemilu perselisihan hasil pemilu dan demokrasi, bahwa  konsekuensi jika penyelenggaraan pilkada  langsung  tidak  dikategorikan  sebagai  pemilu, sebagai berikut: 1. Penyelenggaranya dapat dilakukan KPUD seperti ketentuan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 atau oleh sebuah panitia ad hoc yang dibentuk  oleh  pemda  dan  sebagai  pengendali/supervisor Depdagri/desk pilkada). 2. Pesertanya  seperti  ketentuan  Undang-Undang  Nomor  32  Tahun 2004. 3. Pengawas  pilkada  dibentuk  oleh  DPRD  seperti  Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004.Apabila  terjadi  sengketa  penetapan  hasil  pilkada,  penyelesaiannya oleh  Mahkamah  Agung  (MA)  seperti  Undang-Undang  Nomor  32 Tahun 2004. 4. Sengketa  dalam  daftar  calon  pilkada  oleh  KPUD/Panitia  ad  hoc pilkada menjadi kompetensi PTUN. 5. Impeachment  terhadap kepala dan atau wakil kepala daerah diajukan oleh  DPRD  kepada  Mahkamah  Agung  (MA)  (seperti  UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004).
Inilah wajah ketidakutuhan  pemilihan kepala daerah di Indonesia. Ketidakutuhan ini tentunya akan  berdampak pada beberapa hal terkait penyelesaian persoalan pilkada (sengketa, pelanggaran maupun perselisihan). Tidak berhenti disitu saja, terkait lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan pilkada tidak hanya satu lembaga (Bawaslu, MA,PTTUN,MK serta Pengadilan Umum) menjadikan proses penyelesaian yang lama mengingat bahwa setiap lembaga memilliki sistem tupoksi terkait penyelesaian persoalan pilkada yang berbeda beda. Ditambah lagi amanat  membentuk Badan Peradilan Khusus Pilkada sebagai lembaga untuk menyelesaiakan persoalan pilkada yang sampai saat ini keberadaanya belum juga terwujud (Undang Undang No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada). Tentunya ini akan menimbulkan persoalan yang kompleks yang mengakibatkan penegakan hukum di bidang  pilkada sulit tercapai. Khususnya bagi para pencari keadilan. Mengingat bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah  dilaksanakan secara serentak di Indonesia.    

Publikasi : Alimmustofa.com