PILKADES TIDAK HARUS COBLOSAN LANGSUNG | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

PILKADES TIDAK HARUS COBLOSAN LANGSUNG

Minggu, 03 April 2022

 

    Alim Mustofa

PILKADES TIDAK HARUS COBLOSAN LANGSUNG

 

Oleh : Alim Mustofa

Pegiat Demokrasi

Artikel ini telah dipublis sebelunya di tugumalang.id

 

 

Alimmustofa.com - Lazimnya pemilihan pucuk pimpinan suatu jabatan politik dilakukan dengan cara pemungutan suara secara lansung (coblosan) dengan prinsip one man one vote, atau istilah popularnya adalah voting. Hal ini sebagai konsekuensi prinsip pelaksanaan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan demokrasi.


Pemilihan secara langsung terhadap jabatan politik seperti presiden, DPR, DPD , Gubernur, Bupati/Walikota merupakan bagian dari cita-cita reformasi 98. Hal ini berkaca pada praktika politik pada masa Orde Baru (Orba) dengan menerapkan sistem perwakilan dalam semua aspek politik termasuk dalam hal pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah, dimana pada masa Orba pemilihan presiden dilakukan oleh Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR), untuk pemiilihan Kepala Daerah melalui DPRD. Sedangkan untuk memilih anggota DPR,DRPD, rakyat pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai politik peserta pemilu, karena sistem pemilu ada saat itu menerapkan aturan sistem proposional tertutup.


Apa yang terjadi pada saat perberlakuan sistem pada saat itu, hampir bisa dikatakan rakyat tidak mempunyai ruang aktualiasi politik secara bebas menentukan calon wakil yang sesuai dengan aspirasinya. Hal ini karena semua pintu partispasi politik secara langsung tertutup dengan sistem demokrasi yang ototarian.


Apa yang terjadi ?


Dengan sistem demokrasi yang ototarian, akan timbul gab yang lebar antara aspirasi rakyat dengan keputusan politik partai yang nota bene merupakan representasi perwakilan rakyat (civil society). Partai politik sebagai manifestasi aktualisasi politik rakyat melalui pemilu untuk menempatkan kadernya di lembaga legislative (DPR/DPRD) mempunyai agenda politik tersendiri yang bertentangan dengan kehendak voter (pemilih/rakyat).


Maka tidak jarang dalam praktiknya, jika ada anggota DPR/DPRD yang memperjuangkan aspirasi pemilih (rakyat) pada akhirnya harus di recall oleh partainya, karena dianggap melawan kebijakan partai atau tidak sejalan dengan sikap politik partai.


Oleh sebab itu praktik yang demikian itu, kemudian dilawan secara politik melalui peristiwa reformasi tahun 1998. Dimana salah satu amanah reformasi adalah mengubah sistem pemilu dengan sistem proposional terbuka, dimana setiap partai akan menyusun calon legislativenya dengan mencantumkan nomor urut, nama dan foto calon.


Setiap pemilih akan secara langsung, umum, bebas dan dijamin kerahasiaanya untuk memilih calon wakil yang diinginkan secara langsung, dengan harapan tidak ada lagi praktik pembelokan dukungan politik sebagaimana terjadi pada zaman orde baru.


Kembali ke pemilihan kepala desa (pilkades), perkembangan demokrasi dan tuntutan zaman akan keterbukaan, perlindungan HAM, perlindungan hak politik yang semakin maju juga memberikan ruang kepada proses demokratisasi pemilihan kepala desa juga secara langsung. Pemilih bisa secara langsung berinteraksi politik dengan calon kepala desa, dimana dalam interaksi tersebut dapat melalui berbagai pendekatan. Pola komunikasi antara calon kepala desa dengan pemilih biasanya juga diwarnai dengan pendekatan-pendekatan terhadap kekuatan politik lokal yaiitu tokoh, organisasi kemasyarakatan, simpul budaya dan adat.


Komunikasi politik antara calon dan pemilih sedemikian rupa menggambarkan pola hubungan antara patron and client dalam konteks sosio ekonomi. Pola hubungan yang dibangun oleh patron (calon) kepada client (pemilih) diharapkan menghasilkan dukungan politik berupa suara secara konkrit pada saat pemilhan.


Lalu apakah pemilihan Kepala Desa harus selalu menerapkan one man one vote  melalui voting pemilihan langsung ?


Sebagai potret representasi pelaksanaan demokrasi tidaklah salah, bahwa demokrasi mensyaratkan partisipasi dari masyarakat. Akan tetapi tidaklah salah,jika dalam implementasi demokrasi juga memperhatikan atau memedomani nilai-nilai lokal yang menjadi rujukan adat/budaya yang berlaku.


Demokrasi bukanlah menjadi monopoli barat, atau sistem liberalis. Jauh dari pada nilai-nilai demokrasi hasil pemikiran barat, di Nusantara telah berlaku rumusan dalam mencapai kesepakatan politik melalui mekanisme musyawarah. Proses ini dilakukan oleh simpul masyarakat/ tokoh adat untuk menentukan keputusan politik desa, seperti rencana setrategis desa, dan keputusan strategis lainnya termasuk memilih kepala desa.


Ada ruang yang terbuka cukup lebar untuk menentukan keputusan politik dalam hal ini pemilihan kepala desa melalui mekanisme musyawarah. Hal ini tercermin dalam payung hukum yang secara kontitusional dapat digunakan sebagai landasan hukum untuk melegitimasi hasil musyawarah sebagai sebuah mekanisme yang sah.


Dalam konteks pemilihan kepala desa pergantian antar waktu (PAW), pasal 18 UUD’45 merupakan landasan konstitusional yang kemudian diterjemahkan dalam undang-udang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah  dan undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa serta peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan operasionalnya.


Study kasus pelaksanaan pemilihan kepala desa PAW di Desa Pakiskembar Kecamatan Pakis Kabupaten Malang yang akan dilaksanakan tanggal 31 maret 2022 besok, sebenarnya masih ada ruang untuk melakukan mekanisme pemilihan melalui mekanisme musyawarah. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Bupati (perbub) nomor 195 tahun 2021 tentang Pemilihan Kepala Desa Antar Waktu melaluiMusyawarah Desa. Yang pada intinya pemilihan kepala desa dapat dilaksanakan melalui musyawarah hasil kesepakatan peserta musyawarah. Dalam tidak tercapai kesepakatan maka pemilihan kepala desa akan dilaksanakan melalui pemungutan suara.


Jika menilik pada nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, musyawarah adalah ruh dari demokrasi yang menjadi prinsip dasar yang dicita-citakan para founding fathers pendiri bangsa ini. Sebuah prinsip yang luhur yaitu mayoritas menghargai dan menghormati minoritas, sedang mekanisme one man one vote atau  voting adalah meletakan nilai dasar saling mengalahkan. Mayoritas menguasai minorutas, sedangkan minoritas merasa tercederai dengan kekalahan dalam pertarungan politik.

 

(Perenungan menjelang pelaksanaan pemilihan kepala desa antar waktu di Kabupaten Malang tanggal 31 Maret 2022.)


Editor : Alim Mustofa