Calon Pejabat Politik/Publik Eks Napi Koruptor Antara Moral dan HAM | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Calon Pejabat Politik/Publik Eks Napi Koruptor Antara Moral dan HAM

Sabtu, 28 Maret 2020




Oleh : Alim Mustofa

Alimmustofa.com - Momentum pemilu atau pemilihan (Pilkada) adalah ruang terbuka bagi setiap warga negara untuk memperjuangkan hak politiknya dalam kontestasi pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota atau pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hak politik yang dimaksud adalah hak memilih dan dipilih sesuai ketentuan perundang-undangan pemilu atau pemilihan.
Hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum atau pemilihan merupakan hak politik setiap warga Negara untuk mengembangkan diri dalam pemerintahan dan sebagai perwujudan kongkrit atas hak yang dimiliki setiap warga Negara yang dijamin oleh konstitusi pada pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dimana dinyatakan dengan tegas bahwa setiap warga Negara memilki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan.

Lebih spesifik, perlindungan hak politik diatur dalam undang-undang 39 tahun 1999 pasal  43  ayat (1), Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Artinya negara dalam hal ini pemerintah mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa hak politik setiap warga negara terlindungi.
Perlindungan hak politik dalam konteks norma hukum positif sedikit agak mengabaikan dalam tanda kutiup “sisi moral” atau aspek moralitas. Mengabaikan yang dimaksud adalah dalam perlindungan hak politik dalam konteks hak dipilih tidak dipersyaratkan secara norma hukum yang ekeplisit melarang seorang warga negara yang telah memiliki cacat moral yang berlaku di masyarakat.
Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu pada proses pemilu serentak tahun 2019, dimana terjadi polemik yang cukup panjang tentang persyaratan calon wakil rakyat atau DPR. Persoalan larangan syarat calon anggota DPR eks nara pidana korupsi menimbulkan perdebatan public saat tahapan pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Pemilu serentak 2019.
Dalam ketentuan pasal 240 ayat (1) huruf g. menegaskan syarat pencalonan “ tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali . secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,”.
Pasal ini berisi larangan sekaligus kesempatan bagi calon legislative untuk mencalonkan dalam kontestasi politik. Undang-undang tidak berniat melakukan filterisasi terhadap calon pejabat public atau orang yang akan menduduki jabatan politik meski secara moral telah dianggap cacat oleh masyarakat. Secara politik undang-undang masih melindungi orang dalam kontestasi politik meski dianggap cacat moral dengan statusnya eks napi terpidana lebih dari lima tahun lebih tegas eks koruptor atau pelecehan seksual.
Menilik pada ketentuan Undang-undang no.31 tahun 1999 Tentang Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Ancaman sanksi pada ketentuan diatas menegaskan bahwa terpidana korupsi merupakan pelanggaran berat dari sisi hukum dan norma yang berlaku. Dampak dari prilaku korupsiyang dilakukan pejabat politik atau pejabat publik, mengancam banyak nasib masyarakat secara luas. Pelaku korupsi secara langsung atau tidak langsung akan menghalangi upaya perbaikan taraf hidup setiap warga negara. 
Bagi masyarakat seorang calon pejabat politik (DPR,DPD,DPRD/kepala daerah, pejabat lembaga negara) harus diisi oleh orang yang bermoral baik. Bermoral baik yang dimaksud adalah yang tidak pernah melanggar norma (Hukum, Susila, Agama dan Sopan santun), atau lebih tegas orang yang memegang etika. Atau setidaknya tidak pernah melanggar norma hukum, norma agama dan norma susila, sebab norma Sopan santun tidak bisa diterapkan secara universal atau dengan kata lain bergantung adat istadat daerah.
Meski agak susah ketika membuat batasan material yang dituangkan dalam regulasi terkait batasan “ Moral”  seorang calon pejabat politik. Setidaknya ada upaya konkrit dari pembentuk undang-undang untuk memperbaiki pola rekruitmen politik oleh partai dalam hal memilih calon yang terbaik sebagai wakil rakyat, baik di legislative maupun di eksekutif.
UPAYA KPU DALAM MEMBATASI HAK POLITIK.
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya di pemilu serentak 2019, ada upaya dari penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia untuk melakukan pembatas terhadap pencalonan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Larangan calon anggota DPR/DPRD  dari mantan narapidana kasus terpidana korupsi yang kemudian dituangkan dalam pasal 7 ayat (1) huruf h Peraturan KPU (PKPU) pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, ini agaknya menemukan jalan buntu. Meski beberapa pegiat pemilu dan pegiat anti korupsi mendukung upaya dari KPU, akan tetapi hal ini bertentangan dengan udang-undang pemilu. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, dimana dalam pasal pencalonan tidak dicantumkan secara eksplisit bagi seorang eks napi korupsi dilarang dalam undang-undang pemilu.
Merujuk pada putusan mahkamah konstitusi (MK) nomor 42/PUU-XIII/2015, dalam gugatan yang diajukan oleh Jumanto-Fator menggugat UU Pemilu Pasal 7 huruf g dan h UU Nomor 8 Tahun 2015. Pasal 7 huruf g berbunyi:
Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
Pasal 7 huruf h berbunyi,Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam penjelasan putusan MK halam 73 “ Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Pasal 7 huruf g UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional) sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana;
Penjelasan diatas memberikan gambaran kepada publik mengapa upaya KPU untuk mencantumkan larangan eks napi koruptor dalam peraturan KPU tentang pencalonan legislative di pemilu 2019 menemui jalan buntu dan batal. Hal lain yang perlu dijelaskan adalah sikap Badan Pengaswas Pemilu yang meloloskan eks napi koruptor boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPRD. Dalam beberapa putusan sengketa dibawaslu, Bawaslu selalu mengabulkan tuntutan pemohon, karena Bawaslu berpandangan bahwa hak politik seseorang (hak pilih dan dipilih) dapat cabut karena dua hal, pertama karena diatur dalam undang-undang dan kedua karena dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Prinsipnya tidak boleh ada Lembaga lain yang boleh mencabut atau menghalangi hak politik seseorang kecual kedua hal tersebut diatas. Sementara dalam undang-undang nomr 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, berlaku asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan kata lain Bawaslu berpendirian dengan norma hukum yang berlaku, KPU bukanlah lembaga yang berwenang untuk menghalangi hak politik seseorang dalam konteks pemilihan umum.
Hal ini dikatakan oleh Komisoner Bawaslu RI Rahmad Bagja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/9/2018). Ditulis dan di publis (KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO) Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu“.
NILAI MORAL DAN HAK POLITIK.
Mempunyai wakil atau pemimpin yang baik adalah harapan setiap warga negara, hal ini sangatlah lumrah jika  calon wakil rakyat atau kepala daerah merupakan putra terbaik bangsa. Sudah sangat diapahami dengan pendapat umunya jika calon yang diusung itu dari kalangan orang baik, tidak  cacat moral, hukum, diharapkan akan berkinerja yang baik memikirkan rakyat yang diwakili. Oleh sebab itu tidak salah jika sebagian besar warga negara atau rakyat mendorong agar orang-orang yang cacat dimata publik ( Koruptor/pelaku pelecehan seksual) sebaiknya tidak diberi hak atau dilarang mencalonkan diri dalam kontestasi politik yaitu pemilu atau pemilihan.
Pelaku korupsi atau pelaku kejahan seksual yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan berkekuatan hukum tetap, adalah orang telah melanggar norma yang berlaku dimasyarakat. Setidaknya pelaku tersebut telah melanggar norma hukum, norma agama,  dan norma susila bagi pelaku kejahatan seksual. Sebab secara hukum formil prilaku korupsi adalah termasuk kejahatan extra ordinary crime atau kejahatan yang luar biasa yang menjadi musuh negara. Begitu juga pelaku kejahatan seksual yang secara nyata melanggar norma hukum, Norma agama dan norma Susila. Sebab tidak ada agama yang berlaku di Indonesia yang  membenarkan ketiga kejahatan tersebut.
Jika dibuat perbandingan dalam sebuah pertanyaan, haruskah pembelaan terhadap hak asasi seseorang lebih utama dari pada hak kolektive warga negara untuk mendapatkan hal yang “baik” dalam hal ini wakil rakyat atau pemimpin dalam pemerintahan. Hak kolektive warga negara yang dimaksud adalah hak asasi yang melekat kepada semua warga negara termasuk hak politik, hak untuk memperbaiki taraf hidup, hak memperoleh perlakuan yang baik dari negara.KLIK DISNI
Menurut Jeremy Bentham dalam Teori utilitarianisme, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Konsep dasarnya adalah menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Tolok ukurnya adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini sangat tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak. Kemanfaatan diartikan sama sebagai kebahagiaan (happiness).
Membandingkan nilai moral dan hak asasi dengan kepentingan politik memang sangat sulit, akan tetapi jika merujuk pada asas kepantasan kepentingan yang lebih besar yaitu perbaikan kualitas perwakilan dalam pemerintahan demokrasi. Perlindungan hak politik seseorang memang penting untuk dilindungi, tetapi pembentuk undang-undang juga harus bersikap adil dalam merumuskan regulasi politik untuk melindungi mayoritas hak politik warga negara.
Seseorang eks tindak pidana korupsi dapat dikatakan telah memiliki cacat dimata publik, karena perbuatan telah banyak merugikan negara dan merugikan mayarakat. Hak atas perbaikan kualitas hidup masyarakat terhalangi oleh pelaku korupsi, karena uang yang seharusnya untuk pembangunan kesejahteraan, digunakan untuk kepentingan pribadi atau golonganya.
Koruptor telah merampas hak asasi mayoritas warga negara, hak atas perbaikan hidup, hak atas perbaikan pendidikan, kesehatan atau hak hidup lainnya. Dengan demikian alasan ini cukup untuk membuat argumentasi hukum, jika pelaku korupsi sudah layak dipersempit hak politiknya dalam kontestasi politik lima tahunan, baik di pemilu maupun di pemilihan. Seruan moral saja tidak efektif untuk tidak memilih politisi eks koruptor dalam pemilu atau pemilihan, harus ada regulasi yang memberikan larangan dengan tegas bagi eks koruptor tidak boleh dicalonkan oleh partai politik baik dalam pemilu legislative maupun di pilkada.
Negara wajib hadir untuk melindungi hak asasi mayoritas warga negara, dengan membuat regulasi yang komitmen terhadap hak-hak kolektive  warga negara.
Penjelasan diatas memberikan gambaran yang tegas terkait persoalan – persoalan hambatan regulasi untuk menjebatati antara hak asasi dengan nilai moral dalam konteks hak politik. Disatu sisi masyarakat ingin memperoleh hak akan hidup yang layak atau perbaikan kualitas hidup yang diyakini jika pembuat kebijakan berasal dari orang yang baik.
Simpulan tulisan ini adalah pada pertanyaan, lebih utama manakah antara perlindungan HAM individu ( caleg Eks Koruptor) dengan mengedepankan nilai moral (melarang eks Koruptor) dalam kontestasi politik ? 


Penulis  : Alim Mustofa

Jabatan : Bawaslu Kota Malang
HP         : 085 233 110 753