Dialog Budaya Dalam Pengawasan Pemilu | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Dialog Budaya Dalam Pengawasan Pemilu

Senin, 07 Januari 2019

AlimMustofa.com - Budaya dikusi dalam memecahkan setiap persoalan menjadi tradisi yang baik di masyarakat Nusantara. Diskusi atau dengan kata lain sharing pendapat untuk mencari nilai padanan pendapat  yang sama untuk satu permasalahan atau solusi atas suatu persoalan.

Begitu juga dengan pemahaman atas politik, demokrasi dan pemilu dalam tradisi budaya nusantara, menjadi bagian yang layak untuk didialogkan diantara golongan, suku, ras dan antar budaya dimasyarakat.

Dalam hal pemilu terutana dalam hal pengawasan Bawaslu Kota Malang, mencoba memasuki ruang budaya untuk pelembagaan Bawaslu dan kepengawasan. Apa lagi untuk melawan money politik dalam konteks kampanye dalam pemilu tahun 2019. Money politik dan pelanggaran pemilu lainnya yang dianggap telah menjadi tradisi dalam pemilu, hanya dapat diubah melalui pendekatan budaya. Ya …merubah tradisi dengan membudayakan hal yang baik. Oleh sebab itu Bawaslu Bersama sekolah budaya tunggulwulung mencoba merangkai kedua hal di atas dalam kegiatan dialog poltik dan budaya, untuk memahami pemilu dan pengawasan pemilu tahun 2019.

Kegiatan dialog politik yang dibingkai dalam diskusi budaya dan pemilu, menjadi pilihan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Malang dalam rangka mengajak masyarakat untuk mengenali pengawasan pemilu. Kegiatan hasil kerjasama Sekolah Budaya Tunggulwulung (SBT) dengan Badan Pengawas Pemilu Kota Malang merupakan hal baru dalam hal menggerakan komunitas budaya dalam pengawasan partisipatif.

Menempati ruang pertunjukan SBT, dialog budaya dan pemilu dibuka dengan sambutan Kholik Nuryadi pemangku Sekolah Budaya. Dihadapan Nur Elya Anggraeni Anggota Bawaslu Jawa Timur dan Sofyan Edy Jarwoko Wakil Walikota Malang, Kholik menyampaikan” seniman adalah obyek politik, dan pengahayat kepercayaan yang selama ini selalu menghindar dari hiruk pikuk politik dan persoalaan negara. Dengan adannya Bawaslu Kota Malang memberikan sosialisasi,membuat para penghayat menggangap perlu berpartisipasi menjaga nuswantara melalui pengawalan peralihan kekuasaan yang sah,” lanjut Kholik.

“Para seniman dan budayawan tidak boleh tabu dengan pengetahuan politik ,hukum dan tata negara. Seniman harus berpartisipasi dalam membentuk pemerintahan yang bersih dari korupsi melalui sentuhan budaya dimasyarakat. Oleh sebab itu seniman harus terlibat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih diawali dari pemilu yang bersih,” ungkap Kholik.
Ratusan kepala peserta dan warga sekolah budaya menggangguk sebagai tanda setuju akan pendapat Pemangku Sekolah Budaya. Tepuk riuh peserta menambah semaraknya acara yang digelar malam hari yang berlokasi dipinggiran sebelah barat Kota dingin ini.

Seniman, budayawan dan pengahayat merasa sadar setelah mendapatkan informasi dari Bawaslu Kota Malang yang disampaikan pula oleh anggota Bawaslu Jawa Timur.

Nur Elya Anggraeni Anggota Bawaslu Jawa Timur menyampaikan rasa senang dan bangga bisa hadir diacara ini, “ bagi saya ini adalah sesuatu hal yang berbeda, Bawaslu berupaya mengandeng atau peduli terhadap pegiat seni, pegiat budaya, dan pengahayat untuk bersama-sama mengawasi pemilu 2019. Sebab untuk menghasilkan pemimpin yang peduli ini tergantung kita, tergantung 3 sampai 5 menit di TPS nanti, tetapi sebelum masuk TPS ini kan Panjang, ada tahapan kampanye , bagaimana kita memastikan peserta pemilu ini kampanye sesuai peraturan,” melanjutkan paparanya.

“Kami mengajak teman2 SBT ini untuk membuka hati begitu ya , kita berdialog apa sebetulnya bawaslu dan apa pentingnya mengawasi pemilu, nanti akan dibahas oleh Bawaslu Kota Malang,” terang Elya Koordiantor divisi Humas Bawaslu Jawa Tumur.

Salah satu keluarga besar SBT Bambang GW.  memberikan pendapat tentang membangun tradisi pemilu yang berbudaya adalah Semua kita saat ini punya rasa kebatinan yang sama yaitu pengharapan akan kehidupan berdemokrasi yang lebih berkualitas dan bermartabat tetapi kita masih saja ada dalam ruang berpikir yang tidak berpijak pada perubahan mendasar dalam berdemokrasi.

“Salah satunya tentang pemilu kita setia pada pijakan pikiran bahwa itu momen politik sehingga berakibat semua energi dan laku kita terarah secara politis yang pada akhirnya akan menghasilkan pemilu tanpa nilai-nilai (value) dan spirit. Oleh karenanya mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadaban salah satunya melalui pemilu seharusnya pijakan pikiran kita haruslah kita ubah agar semua proses yang harus terlewati juga akan bergeser tata ukurnya,” terang Bambang.

“Pemilu yang akan melakukan transisi kepemimpinan mestinya harus dipandang sebagai momen kebudayaan agar muncul nilai-nilai budaya sebagai pijakan ukuran baru dalam melewati setiap etape yang ada di dalamnya. Pemilu tidak dipandang sebagai sebuah kompetisi tetapi lebih diposisikan sebagai gerakan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan spirit keluhuran budi pekerti,” ungkap Bambang dalam acara dialog tersebut.

Dalam sesi tanya jawab berikutnya Seyhan melontarkan pertanyaan “Apa mungkin anggota dewan atau sumpah jabatan diakukan dimuka publik, tidak di gedung tetapi langsung di depan masyarakat bahwa tidak akan melakukan korupsi?. Jika nanti mereka ingkar, bagaimana kita bisa meminta pertanggungajawabanya?,” imbuh Seyhan.

Mendengar pertanyaan ini Wakil Walikota tersebut menjawab “Apa yang tidak mungkin, bahkan ini adalah usulan menarik,   contoh ketika ketika 41 anggota dewan tersandung KPK, partai langsung merespon dengan mengganti caleg yang bersangkutan,  karena disetiap partai sudah mengatur hal tersebut. Terkait dengan pelantikan di muka umum, tentu harus ada regulasi yang mengaturnya dulu,” tegas Sofyan Edi.

Dialog berjalan dengan hangat, beberapa pertanyaan dijawab oleh pemateri yang berasal dari Bawaslu Jawa Timur, Bawaslu Kota Malang dan Wakil Walikota Malang.

Jam menunjukan pukul 23.35 wib, udara semakin dingin menandakan  waktu telah larut malam, dialog pemilu dalam bingkai budaya  serasa kurang Panjang dan ingin sekali dilanjutkan . Tetapi akan lebih baik jika dengan adanya MOU ini, kita akan dapat membuat dialog antara pegiat seni budaya dengan pengawas pemilu, sambung pembawa acara dalam menutup sesi dialog.

Kebiasaan korupsi hampir menjadi tradisi, mungkin cara yang paling relevan melawan korupsi adalah dengan Budaya, ya tradisi dilawan dengan budaya. Inilah kesimpulan akhir dari dialog ini. (A-Liem Tan)