Penggunaan Hak Pilih Pada Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Tahun 2018 | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Penggunaan Hak Pilih Pada Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Tahun 2018

Sabtu, 23 Juni 2018

AlimMustofa.com - Penyelenggaraan pemungutan suara pemilihan tinggal menghitung hari, seluruh persiapan sudah barang tentu telah dilakukan oleh penyelenggara pemilu, baik KPU Provinsi dan 18 (delapan belas) KPU Kabupaten/Kota untuk menggelar pesta demokrasi dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur yang bersamaan dengan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak pada tanggal 27 Juni 2018.

Masyarakat Jawa Tmur tentu berharap penyelenggaraan pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara di TPS berjalan sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan pemilu dan peraturan perundang-undangan dan tidak ada kendala yang berarti pada saat pelaksanaannya.

Semua itu dapat terlaksana dengan baik, jika penyelenggaranya mulai dari KPU Provinsi dan jajaran di bawahnya telah siap, baik fasilitasi pemberdayaan pemahaman dan pengetahuan teknis penyelenggaraannya maupun fasilitasi perlengkapan pemilihannya serta anggarannya. Itu semuanya saling terkait satu dengan lainnya, maka jika ada salah satu yang bermasalah, akan mengakibatkan persoalan ketika pelaksanaannya.

Ada cacatan penulis yang mungkin akan menimbulkan masalah saat pelaksanaan pemungutan suara, yaitu terkait dengan penggunaan hak pilih, yang seharusnya akan menjadi perhatian serius bagi penyelanggara (KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota).

Berdasarkan ketentuan Pasal 95 UU 10/2016 dan Pasal 6 PKPU 8/2018 telah mengatur pemilih yang dapat menggunakan hak pilihnya di TPS, yaitu : pemilih yang terdaftar dalam DPT, pemilih yang terdaftar dalam DPPh (daftar pemilih pindahan), pemilih yang terdaftar pada pemilih tambahan (DPTb).

Dari ketentuan tersebut terdapat kategori pemilih pindahan (DPPh) yang oleh karena keadaan tertentu, maka pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS-nya, maka pemilih yang bersangkutan mengurus Formulir A5-KWK untuk pindah memilih sesuai dengan TPS yang dituju. Pengurusan Formulir A5-KWK, Pemilih melapor kepada PPS (Panitia Pemungutan Suara) asal untuk mendapatkan Formulir A5-KWK, jika bisa ke PPS dapat mengurus melalui KPU Kabupaten/Kota untuk mendapatkan Formulir A5-KWK paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.

Selain itu, terdapat kategori pemilih tambahan, yang mana terdapat masyarakat yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, namun tidak terdaftar dalam DPT (daftar pemilih tetap), maka masyarakat tersebut dapat menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara dengan menunjukkan KTP-el atau Surat Keterangan dari Dispenduk Capil di TPS sesuai dengan alamat yang tertera dalam e-KTP atau Surat Keterangan dan didaftar pada DPTb (daftar pemilih tambahan) dan penggunaan hak pilihnya dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesaianya pemungutan suara di TPS.

Terkait dengan masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT pun regulasi masih memberikan ruang bagi masyarakat yang telah memenuhi hak pilihnya untuk memberikan suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara, dengan syarat membawa e-KTP atau Surat Keterangan.

Nah yang menjadi problem sekarang ini adalah apabila terdapat masyarakat yang belum memiliki e-KTP atau yang sudah melakukan perekaman dan telah mendapatkan surat keterangan (SUKET). Apakah kategori masyarakat yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih, yang tidak memiliki e-KTP atau SUKET dapat memberikan hak pilihnya. Secara regulasi ketegori tersebut tidak dapat menggunakan hak pilihnya pada tanggal 27 Juni 2018.

Maka jalan satu-satunya adalah masyarakat tersebut haru mengurus e-KTP atau surat keterangan (SUKET) di Dispendukcapil, kecuali terdapat ketentuan menggunakan KK (Kartu Keluarga), SIM, Paspor atau identitas lain, boleh menggunakan hak pilihnya.

Di beberapa Kabupaten/Kota masih ada masyarakat yang belum memiliki e-KTP atau surat keterangan (SUKET). Melihat kondisi tersebut, Pemerintah melakukan kebijakan terkait pengurusan surat keterangan (SUKET) dengan menurunkan derajat syaratnya, yaitu jika terdapat masyarakat yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih dan tercatat dalam database Dispendukcapil, maka dapat mengurus surat keterangan (SUKET) sekalipun belum melakukan perekeman. Sebenarnya SUKET tersebut hanya diterbitkan jika warga masyarakat yang belum punya e-KTP, tetapi sudah melakukan perekaman. Dengan diturunkan derajat syarat tersebut diharapkan masyarakat yang belum memiliki e-KTP dan SUKET yang sudah perekaman, diharapkan masyarakat yang sudah memiliki hak pilih dapat mengurus SUKET, sehingga tidak kehilangan hak pilihnya.
Bagaimana jika terdapat masyarakat yang tidak masuk dalam database.

Nah, inilah yang menjadi problem, sehingga jika mendasarkan pada regulasi, maka akan kehilangan hak pilihnya karena tidak memiliki e-KTP dan SUKET, padahal telah memenuhi syarat sebagai pemilih. Pemungutan suara tinggal menghitung hari, mampukah pemerintah dan KPU akan menyelesaiakan persoalan itu sebelum hari pemungutan suara tanggal 27 Juni 2018. Maka seharusnya KPU dan Pemerintah terus melakukan koordinasi untuk mengantisipasi dan mencari solusi terhadap problem itu, sehingga hak konstitusional warga Negara akan terfasilitasi dalam menggunakan hak pilihnya.

Hal ini memang berbeda dengan penyelenggaraan yang telah lalu, jikalau ada warga masyarakat yang sudah punya hak pilih, tetapi tidak memiliki atau belum memiliki KTP, maka cukup menunjukkan Karta Keluarga (KK), SIM atau pasport saja dapat menggunakan hak pilihnya. Tetapi di penyelenggaraan pemilihan tahun 2018 ini diwajibkan harus memiliki e-KTP atau SUKET, karena memang dalam tahapan pemutakhiran daftar pemilih yang telah dilakukan oleh KPU berbasis e-KTP atau SUKET.

Inilah yang mungkin nantinya akan menjadi persoalan di kemudian hari, yang mana persoalan ini merupakan problem “klasik” yang juga belum terselesaikan, yaitu persoalan daftar pemilih. Ketika persoalan e-KTP belum selesai dan data kependudukan kita belum selesai, maka dapat dipastikan persoalan daftar pemilih juga belum terselesaikan dan itu akan menjadi persoalan yang setiap 5 (lima) tahunan menjadi “trending posita” di Mahkamah Konstitusi.

Hal itu dalam satu sisi terkait dengan pemutakhiran data pemilih yang berimplikasi kepada penggunaan hak pilih. Nah, bagaimana terkait dengan syarat menggunakan hak pilih di TPS (tempat pemungutan suara).

Berdasarkan Pasal 7 PKPU 8/2018 telah diatur terhadap pemilih yang akan menggunakan hak pilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS), Pemilih selain menunjukkan Formulir Model C6-KWK (surat pemberitahuan memilih) dan wajib menunjukkan KTP-el atau Surat Keterangan kepada KPPS. Artinya, pemilih baru dapat menggunakan hak pilihnya, dengan cara menunjukkan Formulir C6-KWK dan juga wajib menunjukkan KTP-el atau SUKET.

Jika pemilih tidak menunjukkan KTP-el atau SUKET meskipun sudah menunjukkan Formulir C6-KWK, maka tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Hal inilah nantinya akan menjadi salah satu “penyumbang masalah” di lapangan atau di TPS pada saat proses pemungutan suara ketika pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya lupa membawa KTP-el atau Surat Keterangan. Secara aturan, KPPS pasti akan meminta pemilih untuk pulang mengambil KTP-el atau Surat Keterangan.

Mungkin bagi jarak tempuh TPS ke rumah tidak begitu jauh dan ada kesadaran dari pemilih, mungkin tidak problem, namun jika jarak tempuh yang jauh atau bahkan jaraknya antar pulau dan tidak ada kesadaran dari pemilih, maka apakah pemilih tersebut harus pulang dan mengambil KTP-el atau SUKET. Hal ini juga akan menjadi problem tersendiri bagi penyelenggara khususnya KPPS dalam mengantisipasi jikalau pemilih tidak membawa KTP-el atau SUKET. Memang terlihat sederhana, namun akan menjadi problem ketika jika hanya persoalan itu banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih hanya persoalan administratif, karena bisa saja pemilih yang tidak membawa KTP-el atau SUKET diminta pulang dan pemilih tersebut tidak kembali ke TPS, maka pemilih tersebut tidak menggunakan hak pilihnya hanya persoalan administratif, padahal pemilih tersebut sudah tercatat dalam DPT karena sudah membawa Formulir C6-KWK.

Disinilah peran pengawas pemilu dalam memaknai persoalan untuk mendapatkan solusi agar masyarakat tidak dapat menggunakan hak pilihnya hanya persoalan tata cara, prosedur dan mekanisme penggunaan hak pilih.

Sedangkan warga masyarakat yang tidak terdaftar di dalam DPT wajib menunjukkan KTP-el atau SUKET dan didaftar dalam DPTb untuk dapat menggunakan hak pilihnya. Maka pemilih yang sudah terdaftar dalam DPT dan telah mendapatkan Formulir C6-KWK dalam perspektif formal pemberlakuannya sama dengan warga masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT. Seharusnya KPU tidak memberlakukan sama terhadap pemilih yang terdaftar dalam DPT dengan warga masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT. Jika warga masyarakat yang tidak masuk dalam DPT memang harus diberlakukan syaratnya, yaitu wajib menunjukkan KTP-el atau SUKET, namun bagi pemilih yang sudah masuk DPT pemberlakukannya cukup menunjukkan Formulir C6-KWK, karena pemilih tersebut telah terdaftar dalam DPT, sehingga tidak perlu harus menunjukkan KTP-el atau SUKET. Jika pemilih yang terdaftar dalam DPT masih wajib menunjukkan KTP-el atau SUKET, maka apalah gunanya pemutakhiran data pemilih yang telah KPU lakukan dengan melibatkan P2DP (petugas pemutakhiran data pemilih) dengan menghasilkan produk DPS (daftar pemilih sementara) yang kemudian dilakukan coklit (pencocokan dan penelitian) sehingga sampai dengan ditetapkannya DPT, yang prosesnya begitu panjang. Dan orang yang telah masuk dalam DPT telah melalui proses yang panjang dengan melibatkan P2DP dan masyarakat serta pengawas pemilihan.

Hal mana berbeda dengan warga masyarakat yang tidak masuk dalam DPT, namun telah memenuhi syarat sebagai pemilih, maka regulasi memberikan ruang untuk dapat menggunakan hak pilihnya di tempat tinggalnya (alamat), dengan pemberlakukan syarat, yaitu wajib menunjukkan KTP-el atau SUKET. Maka seharusnya KPU tidak perlu memberlakukan syarat melebihi norma yang ada di UU 10/2016 kepada pemilih yang sudah terdaftar dalam DPT dan sudah memiliki Formulir C6-KWK.

Di dalam UU 10/2016 telah mengatur norma bagi pemilih yang menggunakan hak pilihnya, yaitu hanya 3 kategori normanya, yaitu : pemilih yang terdaftar di DPT, pemilih yang terdaftar dalam DPPh dan pemilih yang terdaftar dalam DPTb. Pemilih kategori DPTb di dalam Pasal 95 ayat (3) memberikan aturan bahwa DPTb dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS sesuai dengan domisili dengan menunjukkan KTP-el, Kartu Keluarga, paspor dan/atau didentias lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jadi, jelas kiranya bahwa hanya pemilih yang terdaftar di DPTb saja yang harus menunjukan KTP-el, kartu keluarga, paspor dan/atau identitas lain. Terkait dengan pemilih yang telah masuk DPT, normanya tidak perlu menunjukkan KTP-el atau SUKET, karena faktanya memang telah masuk DPT dan telah memperoleh/memiliki Formulir C6-KWK.

Terkait dengan Pasal 7 PKPU 8/2018, Penulis menghimbau kepada masyarakat yang telah tercatat sebagai pemilih dan nantinya telah mendapatkan Formulir C6-KWK jika akan menggunakan hak pilihnya harap membawa KTP-el atau SUKET. Dan bagi masyarakat yang belum memperoleh KTP-el atau SUKET (baik sudah perekaman atau yang hanya masuk database) segera untuk mengurus KTP-el atau SUKET agar dapat memberikan hak pilihnya pada tanggal 27 Juni 2018.

Bagi KPU terkait dengan Pasal 7 PKPU 8/2018 yang mewajibkan pemilih yang telah menunjukkan Formulir C6-KWK dan wajib menunjukkan KTP-el atau SUKET, agar diterbitkan regulasi baru terkait hal itu, karena di lapangan akan menimbulkan problem dan mungkin saja akan menjadi “penyumbang masalah” dan mungkin saja akan menjadi “posita sengketa” di Mahkamah Konstitusi. Mudah-mudahan apa yang menjadi pemikiran Penulis tidak terjadi di lapangan dan sosialisasi KPU terkait dengan hal itu sampai kepada masyarakat pemilih maupun warga masyarakat yang belum masuk di DPT untuk segera mengurus KTP-el atau SUKET.

Semoga tidak ada warga masyarakat di Jawa Timur yang kehilangan hak pilihnya hanya persoalan administratif belaka, jika demikian, maka akan sangat naïf jika hak konstitusional warga hanya dikebiri hanya persoalan administratif.

Penulis: Sri Sugeng Pujiatmiko, S.H (Mantan Bawaslu Jatim, Periode 2012-2017)
Editor: A-Liem Tan
Publiser: AamNh7