“Dukungan Tokoh Agama Tidak Cukup”
AlimMustofa.com – Tulisan kilas balik tentang catatan seorang caleg yang berlatar belakang aktivis harus kandas karena perolehan suaranya tidak cukup untuk mengantarnya sebagai seorang anggota dewan. Modal sosial yang dimiliki ternyata belum mampu menarik minat calon pemilih untuk memilihnya. Pemilih lebih banyak tertarik memilih seorang calon wakil rakyat yang mampu memberikan mahar politik.Hal ini sesuai dengan penuturan Pandriono (50) mantan calon legislative DPR Kabupaten Malang pemilihan umum tahun 2009.
Sejumlah caleg berlatarbelakang aktivis sosial berguguran dalam pemilu 2009. Ini memperpanjang catatan mengenai perubahan perilaku politik masyarakat. Aktivitas sosial kemasyarakatan seorang caleg ternyata tidak otomatis bisa menyita perhatian masyarakat dalam pemilu. Hal ini disampaikan Pandriono, caleg dari Partai Sarikat Indonesia (PSI), yang juga alumnus Sekolah Demokrasi angkatan kedua.
Rabu 2 Mei 2009. Hari mulai merangkak siang, saat saya melangkahkan kaki memasuki pintu pagar sebuah rumah dengan halaman yang sangat luas. Bibit tanaman kebun tampak tertata disesuasikan dengan jenis dan umur tanam. Terpampang sebuah papan nama berwarna putih bertuliskan Yayasan Pembinaan Pedesaan (YPP). Tanpa ragu saya ketuk pintu kantor di mana Pandri -panggilan sehari-hari Pandriono- bekerja.
Menjalani aktivitas sebagai staf bidang pemberdayaan masyarakat dan konservasi tanah di YPP, ternyata tidak menyurutkan niat bapak tiga orang anak ini untuk mencoba hal baru. Berbekal pengetahuan politik dan tata pemerintahan dari Sekolah Demokrasi, dalam pemilu legislatif lalu Pandri mencoba mencalonkan dirinya di daerah pemihanl 4, yang meliputi Kecamatan Jabung, Kecamatan Tumpang, Kecamatan Poncokusumo dan Kecamatan Wajak.
Ditemui di ruang tamu YPP Pandri mengatakan, "Hasilnya jeblok, masyarakat tidak butuh program kerja yang bagus, mereka lebih membutuhkan uang." Itu kalimat pertama yang ia katakan ketika menjawab pertanyaan yang saya ajukan terkait pencalonan dirinya di pemilu 9 April lalu. Senyum khas pria yang dilahirkan 40 tahun lalu ini senantiasa mengembang saat ia menceritakan pengalamannya dalam pemilu.
Banyak cerita suka dan kecewa dijalananinya, bagaimana kerasnya dunia politik yang selama ini nampak indah di permukaan, namun ternyata begitu pelik di dalamnya.
Berbagai upaya telah ia lakukan untuk menggalang dukungan masyarakat di keempat kecamatan tersebut. Meskipun dapil yang dipilh Pandri bukan merupakan tempat di mana ia tinggal, tetapi bermodal pendampingan masyarakat selama dua tahun di daerah tersebut Pandri yakin dapat memperoleh dukungan suara yang dapat mengantarkannya meraih kursi dewan. Upaya yang dilakukannya terbilang cukup maksimal.
Hampir setiap hari pria berkumis tipis ini turun dan menemui simpul-simpul masyarakat. Apalagi Kecamatan Jabung telah menjadi target utama penggalangan massa Pandri, dan diharapkan akan dirinya bisa maksimal mendulang suara. Sosialisasi dilakukannya melalui jamaah tahlil, istigosah hingga menemui teman, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Pandriono juga melaksanakan istigosah di malam hari di Desa Bendo Lawang Kecamatan Jabung Kabupaten Malang, yang terletak di lereng pegunungan arah Gunung Bromo.
Untuk menuju ke sana pengunjung harus melalui Jalan Makadam yang berjarak tujuh kilometer dari Jalan Poros Malang - Tumpang, menembus gelapnya hutan dan tanaman tebu di malam hari. Tidak hanya itu. Selama masa kampanye ia berangkat pagi hari kemudian pulang larut malam demi mencari simpati pemilih.
Keinginannya untuk memberikan pembelajaran etika poltik kepada masyarakat, ternyata tidak berbanding lurus dengan perolehan hasil suara yang diharapkan. Diakui Pandri, hasil rekapitulasi suara di keempat kecamatan dapil empat tersebut sangat tidak menggembirakan. Di hari pertama perhitungan suara di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Jabung, Pandri hanya meraih 16 suara dari sebuah desa di wilayah Kecamatan Jabung. Padahal suara yang dibutuhkan untuk satu kursi sangat besar untuk dapil dengan alokasi enam kursi ini.
Melihat perolehan suara sampai hari keempat masih relatif kecil, Pandri tidak berniat melihat hasil akhir dari rekapitulasi suara yan akan dilakukan oleh KPUD. Ia yakin tidak akan lolos masuk ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Malang periode 2009-2014.
Telepon genggamnya terus berdering. Satu-persatu kyai pendukung Pandri menghubunginya untuk memberikan dukungan moral. Para kyai dan tokoh masyarakat terus memberikan dukungan, agar Pandri dapat menerima apapun hasil dari pemilu legislatif ini.
Para kyai pendukungnya itu mengkhawatirkan kondisi kejiwaan Pandri, mengingat begitu banyak caleg yang mengalami gangguan kejiwaan setelah mengetahui tidak mendapat suara yang signifikan. Tetapi, ternyata masih bisa mengembangkan senyumnya. Dengan enteng ia meyakinkan pendukungnya, bahwa tidak akan terjadi sesuatu padanya yang bisa dikhawatirkan.
Pandri mengatakan, "Dukungan kyai atau tokoh masyarakat tidak bisa dijadikan jaminan untuk mendulang dukungan dari masyarakat, contoh riil ya sekarang ini." Dukungan dari para tokoh ulama didapatkannya, ketika banyak mereka menerima manfaat langsung dari hasil kerja Pandri selama melakukan pendampingan di seluruh desa di Kecamatan Jabung. Ia merintis pengadaan sarana air bersih, pembangunan saluran air, pendampingan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa, pengadaan peralatan pertanian sampai penyuluhan pertanian diusahakan Pandri melalui program Yayasan Pembinaan Pedesaan (YPP).
Terbukti kiranya, bahwa apa yang diserukan oleh tokoh masyarakat maupun tokoh agama tidak akan selalu diikuti masyarakat di kalangan bawah. Inilah potret pemilu pasca reformasi tahun 1998, prilaku money politik atau politik transaksional telah meruntuhkan pilar-pilar social. Semoga pemilu tahun 2019 terhindar dari prilaku politik transaksional sehingga akan terpilih putra-putri terbaik untuk memimpin negeri ini. (Alim Mustofa)
Editor : Alim Mustofa