I. PENDAHULUAN
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilihan Umum Presideng dan Wakil Presiden arti
penting lembaga pengawas pemilu (Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS)
adalah sebagai wadah partisipasi masyarakat yang akan menyampaikan laporan
kepada pengawas pemilu yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk
memproses segala bentuk pelanggaran pemilu di wilayah kerja masing-masing.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut, maka tidak
ada lembaga lain selain pengawas pemilu yang dapat memproses pelanggaran
pemilu, kecuali pengawas pemilu.
Lembaga pengawas pemilu selain
memilik arti penting sebagai wadah partisipasi masyarakat juga memiliki arti
sebagai “quasi yudisial”, yaitu
sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk memproses pelanggaran yang masuk
dalam kualifikasi sengketa, melalui ajudikasi.
Proses ajudikasi ini harus dilakukan
dan diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga pengawas pemilu sebelum menjadi
sengekta tata usaha negara. Artinya sengketa proses harus diperiksa, diproses
dan harus diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga pengawas pemilu. Peserta
pemilu serta merta tidak dapat langsung mengajukan sengketa akibat
diterbitkannya keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota langsung kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara, namun harus melalui proses penyelesaian terlebih
dahulu oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Inilah arti
penting lembaga pengawas pemilu menjadi lembaga yang diberikan kewenangan untuk
melakukan proses ajudikasi terhadap sengketa proses.
Selain Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD serta Pemiihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, ada rezim
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang dikenal dengan pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota.Lembaga pengawas pemilu (Bawaslu Provinsi dan
Bawaslu Kabupaten/Kota) diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
proses terkait dengan sengketa yang diakibatkan dikeluarkannya atau
diterbitkannya keputusan KPU Provinsi (untuk pemilihan Gubernur) dan KPU
Kabupaten/Kota (untuk pemilihan Bupati/Walikota). Terkait dengan kewewenangan
sengketa proses tersebut, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota lebih
banyak menangani sengketa proses terkait dengan pencalonan, khususnya syarat
pencalonan dan syarat calon.
II. PELANGGARAN PEMILU
Pelanggaran pemilu dapat
dikualifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu : pelanggaran administrasi,
pelanggaran pidana dan pelanggaran kode etik. Sengketa bukan masuk dalam
kualifikasi pelanggaraan karena lebih bersifat perbedaan penafsiran atau suatu
ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah kegiatan dan/atau peristiwa yang
berkaitan dnegan pelaksanaan pemilihan sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan, atau keadaan dimana terdapat pengakuan yang
berbeda dan/atau penolakan penghindaran antar peserta pemilihan atau antara
peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan.
Pelanggaran pemilu dapat berasal dari
temuan maupun laporan.Temuan didapat dari hasil pengawasan lembaga pengawas
pemilu pada penyelenggaraan tahapan pemilu di semua tingkatan yang diduga
terjadi pelanggaran pemilu. Sedangkan laporan didapat dari laporan warga
masyarakat yang punya hak pilih, peserta pemilu atau tim kampanye dan pemantau
pemilu yang telah terakreditasi.
Lembaga pengawas pemilu diberikan
kewenangan untuk memproses dugaan pelanggaran yang berasal dari temuan maupun
laporan untuk dilakukan pemeriksaan dan kajian.Jika hasil kajian lembaga
pengawas pemilu terdapat pelanggaran pemilu, maka direkomendasikan kepada
pihak-pihak yang berwenang sesuai dengan kualifaikasi pelanggarannya. Jika
masuk dalam pelanggaran pidana, maka direkomendasikan atau diteruskan kepada
penyidik Polri, jika pelanggaran masuk dalam pelanggaran administrasi, maka
direkomendasikan kepada KPU dan jika pelanggaran masuk dalam kualifikasi kode
etik, maka diteruskan atau direkomendasikan kepada DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu).
Berdasarkan UU 7 Tahun 2017 Tentang
UU Pemilu, terkait dengan kualifikasi pelanggaran administrasi pemilu, Bawaslu,
Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam memproses penyelesaian
pelanggaran administrasi hasil dari proses penyelesaiannya adalah dalam bentuk
putusan.
Pada penyelenggaraan Pemilu tahun
2019, proses penanganan pelanggaran juga ada pembedaan yang menjadi kewenangan
lembaga pengawas pemilu.Yang pertama, adalah pelanggaran pemilu dan yang kedua
adalah pelanggaran pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan
massif (yang disebut pelanggaran TSM). Pelanggaran TSM ini terdiri dari 2 (dua)
kualifikasi, yang pertama yaitu pelanggaran administrasi yang TSM, meliputi
pelanggaran terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan
administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
(vide Pasal 463 UU 7/2017). Yang kedua adalah pelanggaran terkait dengan
pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya yang
terjadi secara TSM. (vide Pasal 286 UU 7/2017).
Khusus terhadap pelanggaraan TSM
terkait pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya di
dalam UU 10 Tahun 2016 juga diatur penyelesaiaannya oleh lembaga pengawas
pemilu.Pelanggaran terkait dengan pelanggaran TSM sanksi terhadap pelanggaran
itu adalah pembatalan sebagai peserta pemilu. Kewenangan lembaga pengawas
pemilu yang begitu besar, sehingga kewenangan itu menjadi “beban” bagi pengawas
pemilu, khususnya Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi, karena kewenangan untuk
menyelesaiakan pelanggaran TSM itu adalah Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi. Menjadi
“beban” karena SDM Bawaslu terdiri dari berbagai macam disipil ilmu yang tidak
focus terkait dengan disiplin ilmu hukum, padahal terkait dengan kewenangan
itu, lembaga pengawas pemilu diposisikan sebagai “hakim pemutus”.
Jika dilihat dari kualifikasi
pelanggarannya, pelanggaran TSM terkait dengan pelanggaran menjanjikan dan/atau
memberikan uang atau materi lainnya adalah merupakan kualifikasi pelanggaran
pidana pemilu, namun kenapa pelanggaran itu oleh undang-undang dikualifikasi
sebagai pelanggaran “administrasi” yang diproses oleh lembaga pengawas pemilu
untuk diselesaikan, bukan oleh penyidik kepolisian untuk penyelesaiannya.
Dalam penanganan pelanggaran TSM
khususnya pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya
dilakukan dalam 2 (dua) mekanisme. Mekanisme pertama diselesaikan melalui
proses administrasi yang dilakukan secara terbuka dan bentuk penyelesaiannya
dituangkan dalam bentuk putusan. Sedangkan mekanisme kedua diselesaikan dan
tetap diproses secara penanganan pelanggaran pidana pemilu. (vide Pasal 286
ayat 4 UU 7/2017). Artinya pelanggaran TSM khususnya pelanggaran menjanjikan
dan/atau memberikan uang atau materi lainnya selain diproses secara
administrasi, juga diproses secara pidana.
Proses secara administrasi yang
dilakukan oleh Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi adalah melakukan pemeriksaan dan
memutus pelanggaran TSM berdasarkan Perbawaslu 13 Tahun 2016 (untuk pemilukada,
karena untuk Pemilu Legislatif belum dibuat) melalui tahapan sebagai berikut :
- Pembacaan materi laporan oleh Pelapor.
- Pembacaan tanggapan/jawaban Terlapor dan/atau keterangan Pihak Terkait.
- Pembuktian.
- Penyampaian kesimpulan Pihak Pelapor, Terlapor dan/atau Pihak Terkait, dan
- Pembacaan Putusan.
Dan jika ada pihak yang merasa belum menerima putusan lembaga pengawas
pemilu, maka dapat diajukan keberatan kepada Bawaslu RI dan para pihak masih
ada yang keberatan dapat melakukan upaya hukum kepada Mahkamah Agung.
Dilihat dari proses pemeriksaan pelanggaran TSM, hukum acaranya hampir
sama dengan pemeriksaan di sidang pengadilan umum.
Yang menjadi persoalan terhadap 2 (dua) mekanisme penanganan pelanggaran
TSM ini adalah ketika pada pemeriksaan di lembaga pengawas pemilu (Bawaslu
Provinsi) tidak terbukti melakukan pelanggaran TSM, namun di sisi lain
penanganan pelanggaran TSM secara pidana yang diproses secara pidana, mulai
dari pengawas pemilu, kepolisian, kejaksaan dan di pengadilan ternyata diputus
terbukti melakukan pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi
lainnya. Nah, inilah yang menjadi problem dan masalah yang perlu kajian
mendalam untuk melakukan upaya “penyatuan lembaga pengadilan khusus pemilu”.
Lembaga pengadilan khusus pemilu ini menangani seluruh perkara yang terkait dengan
proses penyelenggaraan pemilu sampai dengan sengketa hasil.
III. SENGKETA PEMILU
Sengketa timbul karena adanya
perbedaan penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah
kegiatan dan/atau peristiwa yang berkaitan dnegan pelaksanaan pemilihan
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, atau keadaan
dimana terdapat pengakuan yang berbeda dan/atau penolakan penghindaran antar
peserta pemilihan atau antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan.
Yang menjadi problem adalah ketika
sengketa itu diakibatkannya atau diterbitkannya keputusan KPU, karena jika
sengketa antar peserta pemilu dapat diselesaikan pada hari yang sama, karena
lebih bersifat sengketa cepat. Namun jika sengketa sudah terkait dengan
keputusan KPU, maka proses penyelesaiannya memerlukan mekanisme dan prosedur
yang berbeda, karena biasanya terkait dengan “win” dan “lose”, sehingga
peserta pemilu akan berupaya untuk membuktikan pokok permohonannya dan di sisi
lain (pasangan calon lain sebagai pihak terkait) juga akan berupaya untuk
mempertahankannya.
Terhadap sengketa ini lembaga
pengawas pemilu diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu, baik
pada penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD serta pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan UU 7 Tahun 2017, maupun pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota berdasarkan UU 10/2016 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota. Pada penyelesaian sengketa sebagaimana UU 10
Tahun 2016 tidak secara tegas harus diselesaikan melalui ajudikasi, hanya diwajibkan
penyelesaian itu dilakukan melalui proses yang terbuka dan
dipertanggungjawabkan. Maka berdasarkan UU 10 Tahun 2016, Bawaslu membuat
Perbawaslu 8 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam pemeriksaan penyelesaian sengketa melalui
tahapan :
- Penyampaian materi permohonan.
- Penyampaian keterangan dan/atau tanggapan Termohon dan/atau Pihak Terkait.
- Pemeriksaan bukti.
- Penyampaian kesimpulan pihak pemohon dan Termohon.
- Pembuatan kesepakatan, dan
- Penetapan hasil musywarah.
Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan, maka Bawaslu Provinsi dan
Panwaslu Kabupaten/Kota membuat Keputusan.
Jika berdasarkan UU 7 Tahun 2017
telah jelas diatur terkait dengan proses penyelesaian sengketa melalui
ajudikasi (vide Pasal 486 ayat 4).Terkait dengan hal tersebut Bawaslu RI masih
memproses pembuatan Perbawaslu terkait dengan penyelesaian sengketa.
Kualifikasi sengketa berdasarkan UU 7
Tahun 2017 meliputi sengketa terkait :
- Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu.
- Penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota, dan
- Penetapan Pasangan Calon.
Tiga kualifikasi itulah yang menjadi kewenangan lembaga pengawas pemilu
untuk menyelesaikan sengketa ketika terjadi laporan penyelesaian sengketa.
Proses penyelesaian sengketa ini adalah diawali dari pengajuan permohonan
kepada lembaga pengawas pemilu (Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kabupaten/Kota) dan selanjutnya diproses oleh lembaga pengawas pemilu setelag
memenuhi syarat formil dan materiil. Semua sengketa proses harus selesai
dilakukan terlebih dahulu di pengawas pemilu akibat dikeluarkannya atau
diterbitkannya keputusan KPU. Terhadap sengketa proses ini, peserta pemilu
tidak dapat serta merta langsung mengajukan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara, namun harus diselesaikan di lembaga pengawas pemilu terlebih dahulu.
Jika pihak pemohon tidak menerima atas putusan lembaga pengawas pemilu, maka
dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Hal ini berbeda dengan kualifikasi sengketa pada penyelenggaraan
pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, ketika pihak pemohon tidak menerima
putusan dari lembaga pengawas pemilu, maka dapat mengajukan upaya hukum kepada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan bukan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Sejak pihak mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
itu sengketa tata usaha Negara diproses oleh lembaga peradilan. Sebab lembaga
pengawas pemilu bukanlah lembaga peradilan, namun difungsikan sebagai “quasi yudisial” yang diberikan
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa proses pemilu.
Oleh karena lembaga pengawas pemilu bukan sebagai lembaga peradilan, maka
terkait dengan penyelesaian sengketa ini adalah lebih bersifat sebagai “banding
administrasi” ketika ada pihak-pihak yang tidak menerima akibat terbitnya
keputusan KPU.
Dalam UU 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan pada BAB X dan
Pasal 48 UU 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dinyatakan bahwa
upaya administrasi adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam
lingkungan administrasi pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya dan/atau
tindakan yang merugikan. (vide Pasal 1 ayat 16 UU 30/2014).
Pasal 48 UU 5 Tahun 1986 di atas
bermakna sama dengan Pasal 471 yang menyatakan bahwa “pengajuan gugatan atas
sengketa tata usaha Negara pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 470 ke
pengadilan tata usaha Negara, dilakukan setelah upaya administrasi di Bawaslu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467, Pasal 468, dan Pasal 469 ayat (2) telah
digunakan”. Artinya bahwa seluruh proses sengketa TUN harus melalui upaya
administrasi terlebih dahulu di Bawaslu.
IX. PENUTUP
Yang pertama, kewenangan yang begitu
besar yang diberikan oleh undang-undang kepada lembaga pengawas pemilu harus
diikuti oleh peningkatan SDM lembaga pengawas pemilu. Jika tidak, maka sulit
bagi lembaga pengawas pemilu untuk menyelesaikan proses pelanggaran TSM maupun
sengketa proses. Maka oleh karena itu, tugas Bawaslu RI sebagai pemegang
komando harus melakukan bimbingan teknis untuk peningkatan SDM khususnya
terkait dengan penanganan pelanggaran TSM, bagaimana SDM pengawas pemilu
memahami unsur-unsur yang terdapat pada ketentuan, bagaimana menganalisa
unsur-unsurnya dan bagaimana mengetrapkan di dalam perkara yang harus
disesuaikan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan.
Dan ini tidak
mudah, begitu pula SDM pengawas pemilu
harus memahami dan harus dapat membuat Putusan, maka Bawaslu RI harus segera
melakukan bimbingan teknis bagaimana cara memproses (tata cara, mekanisme dan
prosedur) penyelesaian sengketa, baik menjadi majelis pemeriksa, memimpin
proses pemeriksaan, melakukan tanya jawab kepada saksi-saksi dan saksi ahli,
pemeriksaan bukti dan bagaimana cara membuat putusan.Tentunya hal ini tidak
mudah, maka kewajiban Bawaslu RI untuk memberikan ilmu melalui bimtek kepada
jajaran di bawahnya.
Yang kedua, terkait dengan adanya
putusan pengadilan satu dengan yang lain berbeda, maka perlu adanya “penyatuan
lembaga pengadilan khusus pemilu” yang akan menangani seluruh perkara yang
terkait dengan pemilu, baik proses maupun sengketa hasil (yang saat ini
diperiksa, diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi).