Problematika Kebijakan Kenaikan UKT 2024 | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Problematika Kebijakan Kenaikan UKT 2024

Sabtu, 01 Juni 2024

 

Ilustrasi foto dalam berita ini diambil dan diolah dari berbagi sumber 

Lesson Learned in public Policy & the next step..

 

Alimmustofa.com - Bumerang Kebijakan Kenaikan Tarif UKT (uang kuliah tunggal): buah simalakama bagi para pengelola prodi (program studi) dilevel grass roots

 

Oleh : Prof. Drs. Andy Fefta Wijaya, MDA., Ph.D

(Guru Besar Kebijakan Publik & Ketua Forum Dekan Ilmu2 Sosial PTN se Indonesia)

 

"Kebijakan baik dengan niat baik namun tidak tersampaikan dengan baik, akhirnya menjadi bumerang dalam implementasinya": sebuah pembelajaran penting bagi para pengambil kebijakan pendidikan kedepannya..

 

Pada tahun 2024 ini APBN pendidikan 600 trilun lebih. Namun yang dikelola oleh Kemendikbud Ristek hampir mendekati angka 100 triliun. Berarti 500 triliun lainnya dikelola oleh Kementrian-2 lainnya yang juga menangani pendidikan disektornya seperti pendidikan di Kemenag, kemendagri, Bappenas dll. Dari 100 Triliun tersebut Perguruan Tinggi di Indonesia dialokasikan sekitar 40 Trilyun untuk menangani sekitar dari 4004 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Kalau dibagi secara kasar maka rata-rata sekitar 10 Miliar per perguruan tinggi (PT). Walau dalam prakteknya tidak demikian. Hal ini menunjukkan PT dituntut memenuhi kebutuhan anggarannya sendiri.

 

Kebijakan mem PTNBH kan PTN dapat dilihat sebagai upaya untuk mendeklarasikan kemandirian PTN dan mengurangi ketergantungannya pada subsidi pemerintah. Dalam prakteknya, strategi PT menaikkan dan mempertahankan jumlah mahasiswanya adalah agar cash flow nya tetap aman terkendali terutama kontribusi dari uang kuliah mahasiswa. Bahkan di PTN ada total dana yang dikelola mencapai 2 sampai 3 Triliun.

 

Sebagian besar dana yang didapat PT baik Negeri maupun Swasta masih tergantung dari UKT (uang kuliah tunggal) mahasiswa. Apalagi Kemendikbud Ristek mendorong PT terutama PTN di Indonesia memenuhi capaian target IKU/ KPI nya (key performance indicators) dan mendorong kenaikan rankingnya dalam urutan tangga World Class University. Hal ini tentu memerlukan dana untuk menaikan kualitas agar ranking terus terdongkrak. Namun suntikan dana APBN belum mencukupi.

 

Salah satu jalan pintas adalah menaikkan UKT baru untuk mahasiswa baru. Namun tetap mempertahan UKT lama untuk mahasiswa lama sesuai harga lama.

 

Hal ini belum sepenuhnya tersosialiasasikan, sehingga ada orang tua2 mahasiswa lama menanyakan berapa kenaikan biaya UKT untuk putra putrinya. Timbul opini publik PTN dan Kemendikbud Ristek (Pemerintah) menaikkan UKT. Dampaknya gelombang protes demomahasiswa dan pendukungnya bermunculan.

 

Hal yang belum sepenuhnya tersampaikan adalah ada sisi baik dari rencana kenaikan UKT ini yaitu untuk cross subsidy mahasiswa dari lantar belakang orang tua berpenghasilan tinggi ke  rendah. Seperti prodi2 yang kami kelola, dulu dengan tarif lama diterapkan 8 level/ jenjang tarif, yaitu mulai range yang terendah 500 ribu (latar belakang mahasiswa keluarga penghasilan rendah) sd 8 juta (mahasiswa asal keluarga penghasilan tinggi).

 

Pada tarif baru berubah menjadi 12 level yaitu tarif range terendah tetap 500 ribu sedangkan teratas 14 juta. Subsidi silang terjadi ketika mahasiswa berpenghasilan rendah yang dulu ditarif lama masuk kelas level 3 terkena UKT 3 juta, maka ditarif yang baru pada level 3 malah turun tarifnya  hanya terkena sekitar 1, 5 juta (baca: ada penurunan untuk mahasiswa keluarga berpenghasilan rendah).

 

Namun sebaliknya untuk mahasiswa keluarga kaya (berpenghasilan 50 jt lebih perbulan) ditarik UKT yang lebih tinggi yaitu 14 juta per semester, dibandingkan tarif lama hanya maksimal charge 8 juta per semester (ada 6 bulan) atau sekitar 1,3 juta lebih perbulan. Sehingga terjadilah cross subsidy dari mahasiswa asala keluarga berpenghasilan tinggi ke rendah.

 

Hanya saja message ini tidak sepenuhnya tersampaikan. Bahkan yang di blow up media adalah UKT naik. Kurangnya sosialisasi menyebabkan info menjadi bola liar.  Niat baik kebijakan kenaikan UKT untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan meng cross subsidy tadi minim tersampaikan ke publik. Yang terbaca pendidikan tinggi semakin mahal dan semakin tersier menjadi barang mewah yang untouchable untuk mahasiswa asal keluarga kurang mampu.

 

Pada klimaksnya, kebijakan ini dibatalkan oleh Mendikbud Ristek atas arahan Presiden RI, sehingga otomatis kembali ke tarif lama.

 

Anulir kebijakan ini menimbulkan problem tersendiri bagi kami2 pengelola prodi di PT, karena beberapa mahasiswa baru yang sudah diterima sudah  terlanjur membayarkan SPP nya sesuai tarif baru yang sudah diumumkan sebelumnya. Contoh ada mahasiswa baru yang tadinya masuk level 3 dengan tarif Rp 1,5 juta dan sudah membayarkan dananya, maka dengan pembatalan kebijakan tarif baru tersebut akan dikembalikan ke tarif lama. Padahal mahasiswa tersebut jika dimasukkan ke tarif lama maka UKT nya akan jadi naik 2 x lipat yaitu sekitar Rp 3 juta.

 

Hal ini akan memantik protes demo baru lagi, yaitu mahasiswa baru asal keluarga kurang mampu dikelas tarif level 3 dinaikkan tarifnya krn kembali ke tarif lama.

 

Inilah yang menjadi buah simalakama pagi pengelola di level grass roots. Oleh karena itu yang paling aman mahasiswa yang tersebut diturunkan kelasnya ke level tarif dibawahnya 2 atau 1, dengan konsekuensi menurunkan pendapatan PT.

 

Sebaliknya untuk mahasiswa keluarga berpenghasilan tinggi yang masuk kelas level tarif 12 sudah terlanjur membayar Rp 14 juta maka terpaksa harus dikembalikan uangnya Rp 8 juta sesuai dengan tarif lama kelas tertinggi hanya level 8.

 

Konsekuensinya pendapatan PT akan terpangkas dari prediksi sebelumnya. Padahal kenaikan pendapatan tersebut untuk rencana meningkatkan kualitas dan kinerja PT menuju world class university.

 

Lalu what is the next?

 

Kedepan strategi anggaran harus mencari peluang2 alternatif baru. PT sudah seharusnya meninggalkan strategi lama yang menggantungkan mayoritas 80-90% anggarannya dari dana uang kuliah mahasiswa dan dana subsidi APBN. Seharusnya kemitraan trihelix, pentahelix bahkan multihelix lihat model kebijakan publik CGPMH (Collaborative Governance PlusMulti Helix by Andy Fefta W) antara PT dengan Industri dan Helix lainnya dapat dijadikan inspirasi kedepan bagi para pengambil kebijakan di Kemendibud Ristek ataupun Perguruan Tinggi untuk mengkreasikan kebijakannya sehingga kontribusi dana sektor industri kedunia pendidikan akan semakin tinggi share nya ke PT. Ristek akan menjadi peluang kerjasama yang saling bermanfaat dan dapat dapat menyuntikkan dananya sektor industri ke PT. Usaha2 kreatif PT juga perlu terus berkembang. Strategi kewirausahaan dan inovasi Iptek bermitra dengan dunia usaha perlu menjadi perhatian utama. Termasuk peluang mengumpulkan endownment fund (dana abadi) untuk pendidikan.

 

Sehingga kedepan share dana UKT mahasiswa bisa tertekan sampai angka dibawah 50% dari total anggaran sebuah PT maka bolehlah kita mendeklarasikan keberhasilan kemandirian PT termasuk kemandirian dari ketergantungan UKT mahasiswa. Pada kesempatan ini kita punya peluang untuk terus menekan biaya pendidikan atau menurunkan UKT mahasiswa kedepannya.

 

Hal ini sejalan dengan tujuan kita bersama dan menjadi agenda utama Presiden terpilih kedepannya pendidikan berkualitas yang terjangkau bagi masyarakat terutama mahasiswa dari kalangan keluarga berpenghasilan rendah.

 

Strategi tersebut perlu diimbangi dengan langkah lainnya seperti strategi restrukturisasi anggaran dan kelembagaan;  revitalisasi SDM; serta yang terpenting reformasi kebijakannya. Menjadi PR kedepan para pengelola pendidikan seperti kami2 ini kedepan yang perlu memperhatikan 3 peluang  sinergi pengembangan program studi yaitu pendidikan jarak jauh dengan metode hybrid dan online, pendidikan pasca sarjana dan  internasionalisasi pendidikan berkarakteristik Indonesia.

 

Salam hormat Andy Fefta Wijaya (Dekan FIA Universitas Brawijaya)