Syekh Zakariyya Al-Anshari menegaskan:
ولا بتنحنح لتعذر ركن قولي ) لا لتعذر غيره كجهر ؛ لأنه ليس بواجب فلا ضرورة إلى التنحنح له
Artinya, “Dan tidak batal disebabkan berdehem karena sulitnya mengucapkan rukun qauli, bukan sulitnya bacaan lainnya, seperti anjuran membaca keras, karena hal tersebut tidak wajib, maka tidak ada keterdesakan untuk berdehem,” (Lihat Syekh Zakariyya al-Anshari, Fathul Wahhab Hamiys Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Wahhab, juz I, halaman ٢٤٥).
Mengomentari referensi di atas, Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menegaskan:
قوله (ولا بتنحنح لتعذر ركن قولي) وظاهر صنيعه وإن كثر التنحنح وظهر بكل واحدة حرفان فأكثر ثم رأيت شيخنا قال نعم التنحنح للقراءة الواجبة لا يبطلها وإن كثر خلافا لما في الجواهر ولو غلب عليه الضحك وبان منه حرفان لم تبطل
Artinya, “Ucapan Syekh Zakariyya, Dan tidak batal disebabkan berdehem karena sulitnya mengucapkan rukun qauli, Zhahir dari ucapannya, meskipun berdehem dilakukan sering dan masing-masing dapat memperlihatkan dua huruf atau lebih. Kemudian aku melihat guruku berkata. Ya, memang demikian. Berdehem untuk bacaan yang wajib tidak membatalkan shalat meski banyak, berbeda menurut keterangan dalam kitab al-Jawahir (karya Imam Al-Qamuli),” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala Syarh Manhajit Thullab, juz I, halaman ٢٤٥).
Kedua, ketika tidak bisa dihindari (ghalabah). Mushalli yang tidak kuasa menahan sendawanya, tidak dapat membatalkan shalat meski memperlihatkan dua huruf atau lebih. Namun hal tersebut dibatasi dengan taraf kewajaran. Sehingga bila huruf yang terucap telampau banyak, maka dapat membatalkan. Standar sedikit dan banyaknya huruf dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan) yang berlaku.
Syekh Zakariyya Al-Anshari mengatakan:
ـ (ولا بقليل نحوه ) أي : نحو التنحنح من ضحك ، وغيره ، ( لغلبة ) ، وخرج بقليله ، وقليل ما مر كثيرهما ؛ لأنه يقطع نظم الصلاة ، الى ان قال وتعرف القلة ، والكثرة بالعرف
Artinya, “Dan tidak batal disebabkan sedikitnya berdehem, tertawa dan lainnya, ketika terdesak. Dikecualikan dengan sedikitnya berdehem dan semisalnya, yaitu banyaknya berdehem dan semisalnya, karena hal tersebut dapat memutus rangkaian shalat. Sedikit dan banyaknya berdehem diketahui dengan ‘urf (kebiasaaan),” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab Hamiys Hasyiyat Bujairimi ‘alal Wahhab, juz I, halaman ٢٤٥).
Bila seseorang tidak dapat menghindarkan sendawa yang membatalkan, menurut Al-Imam Al-Halabi, sebagaimana dikutip Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, ia wajib menunda shalatnya hingga menemukan waktu yang dapat terhindari dari sendawa, meski harus menunggu sampai akhir waktu shalat, asalkan masih menemukan shalat di dalam waktunya.
Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menegaskan sebagai berikut:
ولو كان له حالة يخلو فيها عن ذلك وهي تسع الصلاة قبل خروج وقتها وجب عليه انتظارها ولو آخر الوقت ا هـ ح ل
Artinya, “Dan bila seseorang menemukan kondisi yang sunyi dari berdehem dan sejenisnya dan memuat shalat sebelum keluar waktu, maka wajib ditunggu meski sampai akhir waktu. Keterangan dari Imam al-Halabi”. (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala Syarh Manhajit Thullab, juz I, halaman ٢٤٥).
Demikian penjelasan mengenai hukum sendawa ketika shalat. Simpulannya, dalam kondisi tidak ada udzur, sendawa dapat membatalkan shalat bila sampai memperlihatkan suara huruf yang terang, minimal satu huruf yang membatalkan atau dua huruf meski tidak membatalkan. Faktanya, sendawa yang sering terjadi tidak sampai memperlihatkan huruf hijaiyyah yang terang, sehingga tidak membatalkan shalat.
Bila melihat pertimbangan keutamaan, sebisa mungkin, agar sendawa dihindari saat shalat agar ia bisa lebih khusyuk
والله أعلم بالصواب وإليه المرجع والمآب
Al-Faqir Asep Hidayatulloh
Editor : Alim Mustofa
Editor : Alim Mustofa