Membuat laporan Palsu, Memberikan Keterangan Palsu, Pengaduan Fitnah, Persangkaan Palsu, Apa Bedanya Menurut Hukum Pidana? | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Membuat laporan Palsu, Memberikan Keterangan Palsu, Pengaduan Fitnah, Persangkaan Palsu, Apa Bedanya Menurut Hukum Pidana?

Sabtu, 28 September 2019




Oleh: Fajar Santosa, S.H., M.H.
Peneliti dan Advokat di Rumah Hukum dan Kebijakan Publik (RHKP)
Kajian atas kasus : Laporan Palsu Pemerkosaan Mahasiswa 

Alimmustofa.com - Dikutip dari SuryaMalang.com 24 September 2019, telah terjadi suatu peristiwa: seorang makasiswi (RN) di Kota Malang melaporkan kepada kepolisian seorang mahasiswa  yang bernama (MBE) karena diduga melakukan tindak pidana pemerkosaan. Setelah dilakukan pendalaman oleh kepolisian ternyata MBE memiliki alibi yang kuat tidak melakukan tindak pidana dimaksud. Terungkap bahwa pelaporan oleh RN terhadap MBE itu diduga dilakukan karena disuruh oleh seseorang yang lain (AL) yang berstatus sebagai pacar RN, karena motif dendam kepada MBE. RN kemudian mengakui bahwa pelaporan yang dia buat adalah palsu.
Isu hukumnya, bagaimana hukum pidana dapat menjangkau perbuatan RN tersebut?
Terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang bisa digunakan untuk menganalisis peristiwa konkrit diatas, yaitu: Pasal 220, pasal 242, pasal 317, dan pasal 318 KUHP. Keempat pasal tersebut memiliki unsur-unsur yang hampir berdekatan secara pemaknaan namun memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.

Pasal 220: Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Pasal 242: Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 317: Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 318: Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pada peristiwa konkrit di atas, unsur barang siapa telah terpenuhi  RN sebagai subjek hukum. Dalam perkembangan diketahui bahwa RN melakukan perbuatan itu karena disuruh oleh pacarnya (AL) maka itu bisa dikembangkan dalam konteks penyertaan pasal 55 KUHP.
1.       Dalam hukum pidana ada berbagai cara KUHP merumuskan suatu tindak pidana, variasinya adalah: Mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi, dan ancaman pidana;
2.       Mencantumkan semua unsur pokon tanpa kualifikasi dan mencantumkan ancaman pidana ;
3.       Sekadar mencantumkan kualifikasinya saja tanpa unsur-unsur dan mencantumkan ancaman pidana.
Pasal  220 dan pasal 242 KUHP hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidana beserta ancamannya, tidak menyebutkan kualifikasi tindak pidananya. Pasal 220 KUHP ancaman hukumannya paling ringan diantara keempat pasal yang kita analisis tersebut yaitu maksimal pidana penjara satu tahun empat bulan. Pasal 242 KUHP ancaman hukumannya paling lama penjara tujuh tahun.
Hal itu berbeda dengan Pasal 317 dan 318 KUHP yang disebutkan secara eksplisit kualifikasi tindak pidananya, yaitu masing-masing pengaduan fitnah   dan persangkaan palsu, keduanya dengan ancaman maksimal pidana penjara empat tahun.

Unsur perbuatan berupa dengan sengaja membuat pelaporan kepada kepolisian telah terjadi tindak pidana (pemerkosaan yang dituduhkan kepada MBE) telah nyata terpenuhi. RN sebagai subjek hukum yang telah dewasa tentu dengan penuh kesadaran mengerti  bahwa pelaporan terhadap MBE adalah suatu kebohongan, karena sejatinya MBE tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang dia laporkan tersebut.

Unsur dalam pasal 242 KUHP adanya pemberian keterangan palsu diatas sumpah mungkin dalam kasus ini tidak relevan karena biasanya seseorang yang bertindak sebagai pelapor tidak diwajibkan mengangkat sumpah dalam pemberian keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan sebagai Pelapor.
Sementara delik persangkaan palsu sebagaimana dikualifikasi pasal 318 mensyaratkan adanya keadaan status hukum bagi terlapor menjadi tersangka dalam suatu proses pidana. Kita ketahui MBE sebagai pihak yang dilaporkan telah melakukan pemerkosaan, tidak dalam status tersangka. Atau konkritnya, akibat pelaporan RN tersebut, pihak MBE tidak berstatus sebagai tersangka. Kesimpulannya, dalam peristiwa konkrit ini terhadap RN tidak dapat dikenakan pasal 318 KUHP persangkaan palsu.

Bagaimana dengan kemungkinan  diterapkan pasal 317 KUHP, pengaduan fitnah?  Terkait delik pengaduan fitnah sebagaimana dikualifikasi dalam pasal 317 mensyaratkan adanya suatu keadaan bagi orang yang difitnah berupa  kehormatan atau nama baik yang diserang. Sebagai orang yang dilaporkan kepada kepolisian melakukan tindak pidanan pemerkosaan, maka secara normal pihak MBE adalah pihak yang dirugikan karena kehormatan dan nama baiknya diserang. Namun demikian dalam hukum formil kita mengenal adanya tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan. Pasal 317 KUHP adalah masuk dalam kategori tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan mensyaratkan, kepolisian baru bisa bertindak jika ada pihak-pihak yang kemudian dirugikan mengadukan tindak pidana dimaksud atau membuat pengaduan. Sebagaimana difinisi yang diberikan pasal 1 butir ke-25 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.  Dalam kasus di atas, kepolisian tidak bisa menerapkan pasal 317 KUHP kalau pihak MBE tidak membuat pengaduan atas pengaduan fitnah yang dilakukan oleh RN.

Kesimpulannya, pasal yang paling mungkin diterapkan terhadap RN adalah pasal 220 KUHP. Yang bersangkutan memenuhi unsur memberitahukan atau mengadukan kepada kepolisian, bahwa MBE telah melakukan pemerkosaan terhadapnya, padahal RN jelas mengetahui bahwa BME tidak melakukan tindakan pemerkosaan itu. Namun jika BME kemudian mengambil inisiatif membuat pengaduan kepada polisi atas tindakan RN tersebut, maka Pasal 317 KUHP bisa diterapkan terhadap RN dan ancaman hukumannya jauh lebih tinggi yaitu pidana pencara maksimal 4 tahun. Dalam hal ini RN akan kena kualifikasi concursus idealis, satu perbuatan pidana melanggar dua pasal ketentuan pidana yaitu pasal 220 KUHP dan 317 KUHP. Sistem pemberian pidananya dengan mekanisme absorbsi (penyerapan) yaitu hanya dibebankan pidana pokok yang paling berat, dalam hal ini ancaman pidana 4 tahun.
Wallaualam.