Sehari.
Dua hari.
Tiga hari.
Empat hari.
………
Seminggu!!
Dan belum satupun kalimat yang bisa ia tuliskan.
“kamu tidak menyayangiku?” Suara perempuan di ujung telepon genggam.
Ia masih terdiam
“Ibu..”
Baginya, mungkin seperti kata pengganti untuk tuhan.
Terlalu magis untuk diterjemahkan.
Atau terlalu sulit.
Cinta, di lengan waktu yang bagaimana kau dulu pernah membelaiku dengan mesra?
“Bagaimana bapak?”
Laki-laki itu menghisap dalam-dalam rokoknya. Lalu menghembuskan pelan.
Sepertinya ia tengah memberi kesempatan untuk rongga paru-parunya mengunyah habis
luka-luka.
Mereka terdiam.
Gerimis menghampiri atap seng pos keamanan. Senja baru akan tiba.
Ia ingat, laki-laki yang ia sebut bapak itu pernah menunjukkan sebuah foto perempuan.
Cantik. Berambut pirang.
“Kok, kulit dan wajahku gak seperti bule pak?”
Lalu kembali ia memasukkan kedalam lipatan dompetnya.
Selang beberapa bulan kemudian. Ia tunjukkan lagi padaku. Disebuah malam.
Foto perempuan lain.
Memakai Jilbab hitam, duduk berdekatan dengan bapak.
“ah, ini kan foto buk Sarni. Bapak pacaran dengannya?”
Sering seperti itu hingga aku tidak pernah bertanya lagi.
Hingga Ika.
Perempuan pacarnya itu serius mendesak ingin tahu.
Apa yang harus ia katakan?
Sedari kecil ia tinggal dengan laki-laki yang gemar memakai seragam hijau toska.
Yang karena lingkungannya juga ia harus memanggilnya dengan sebutan bapak.
Bahkan ia juga sadar, barangkali laki-laki itu bukan bapaknya.
Tapi ia bersyukur. Lewat televisi 14 inch-nya, ia acapkali melihat berita menyedihkan tentang
seorang ibu yang tega menganiaya anaknya.
atau, seorang bapak yang tega memperkosa putrinya.
Dan Ia beruntung masih bisa bermanja-manja.
Lalu ia tak bertanya lagi, dimana dan siapa ibunya. Atau apakah benar ia bapaknya. Baginya
ini lebih dari cukup.
Kemudian Ika.
Memberikan awan berat dalam kepalanya.
“Aku ingin tahu. Selepas lulus nanti, aku mau kamu lamar aku.”
I B U
Aku bisa saja memilih. Banyak perempuan cantik yang layak aku panggil ibu disini.
Dan aku akui sebagai ibu untuk melamarmu. Tapi pasti ibumu juga mengenal mereka.
Ya, aku tidak mempunyai ibu. Tapi disini, banyak Dewi yang bisa dipanggil ibu.
Sakit apapun aku, mereka sigap merawatku. Kebutuhan sekolah, uang jajan, baju lebaran. Ya,
aku punya satu bapak dengan banyak ibu.
Pernah, suatu ketika aku demam tinggi. Ibumu Ika yang marah-marah setengah mati. Ngomel
gak berhenti, mengingatkan untuk aku tidak telat makan lagi.
Ika.
Sayang kau tinggal di kampung dan sekolah di Madarasah. Seharusnya kamu disini.
Melihat kami.
Aku, Bapak, Ibumu dan banyak perempuan disini.
Sebentar lagi kampung kami ditutup. Ibumu akan kembali. Aku, bapak dan banyak
perempuan yang masih mencoba bertahan disini.
“Mungkin di lain mimpi, kita bisa membeli pelangi.”
Penulis: Rony Alexandri
Editor : A-Liem Tan
Publisher: AamNh7
Dua hari.
Tiga hari.
Empat hari.
………
Seminggu!!
Dan belum satupun kalimat yang bisa ia tuliskan.
“kamu tidak menyayangiku?” Suara perempuan di ujung telepon genggam.
Ia masih terdiam
“Ibu..”
Baginya, mungkin seperti kata pengganti untuk tuhan.
Terlalu magis untuk diterjemahkan.
Atau terlalu sulit.
Cinta, di lengan waktu yang bagaimana kau dulu pernah membelaiku dengan mesra?
“Bagaimana bapak?”
Laki-laki itu menghisap dalam-dalam rokoknya. Lalu menghembuskan pelan.
Sepertinya ia tengah memberi kesempatan untuk rongga paru-parunya mengunyah habis
luka-luka.
Mereka terdiam.
Gerimis menghampiri atap seng pos keamanan. Senja baru akan tiba.
Ia ingat, laki-laki yang ia sebut bapak itu pernah menunjukkan sebuah foto perempuan.
Cantik. Berambut pirang.
“Kok, kulit dan wajahku gak seperti bule pak?”
Lalu kembali ia memasukkan kedalam lipatan dompetnya.
Selang beberapa bulan kemudian. Ia tunjukkan lagi padaku. Disebuah malam.
Foto perempuan lain.
Memakai Jilbab hitam, duduk berdekatan dengan bapak.
“ah, ini kan foto buk Sarni. Bapak pacaran dengannya?”
Sering seperti itu hingga aku tidak pernah bertanya lagi.
Hingga Ika.
Perempuan pacarnya itu serius mendesak ingin tahu.
Apa yang harus ia katakan?
Sedari kecil ia tinggal dengan laki-laki yang gemar memakai seragam hijau toska.
Yang karena lingkungannya juga ia harus memanggilnya dengan sebutan bapak.
Bahkan ia juga sadar, barangkali laki-laki itu bukan bapaknya.
Tapi ia bersyukur. Lewat televisi 14 inch-nya, ia acapkali melihat berita menyedihkan tentang
seorang ibu yang tega menganiaya anaknya.
atau, seorang bapak yang tega memperkosa putrinya.
Dan Ia beruntung masih bisa bermanja-manja.
Lalu ia tak bertanya lagi, dimana dan siapa ibunya. Atau apakah benar ia bapaknya. Baginya
ini lebih dari cukup.
Kemudian Ika.
Memberikan awan berat dalam kepalanya.
“Aku ingin tahu. Selepas lulus nanti, aku mau kamu lamar aku.”
I B U
Aku bisa saja memilih. Banyak perempuan cantik yang layak aku panggil ibu disini.
Dan aku akui sebagai ibu untuk melamarmu. Tapi pasti ibumu juga mengenal mereka.
Ya, aku tidak mempunyai ibu. Tapi disini, banyak Dewi yang bisa dipanggil ibu.
Sakit apapun aku, mereka sigap merawatku. Kebutuhan sekolah, uang jajan, baju lebaran. Ya,
aku punya satu bapak dengan banyak ibu.
Pernah, suatu ketika aku demam tinggi. Ibumu Ika yang marah-marah setengah mati. Ngomel
gak berhenti, mengingatkan untuk aku tidak telat makan lagi.
Ika.
Sayang kau tinggal di kampung dan sekolah di Madarasah. Seharusnya kamu disini.
Melihat kami.
Aku, Bapak, Ibumu dan banyak perempuan disini.
Sebentar lagi kampung kami ditutup. Ibumu akan kembali. Aku, bapak dan banyak
perempuan yang masih mencoba bertahan disini.
“Mungkin di lain mimpi, kita bisa membeli pelangi.”
Penulis: Rony Alexandri
Editor : A-Liem Tan
Publisher: AamNh7