QUO VADIS KELEMBAGAAN BAWASLU KABUPATEN/KOTA DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA TAHUN 2020 | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

QUO VADIS KELEMBAGAAN BAWASLU KABUPATEN/KOTA DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA TAHUN 2020

Sabtu, 24 Agustus 2019



alimmustofa.com - Bahwa penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada tahun 2020 adalah merupakan penyelenggaraan pemilihan secara serentak pada kurun ketiga setelah penyelenggaraan pemilihan secara serentak yang dilaksanakan pada tahun 2015, tahun 2017 dan tahun 2018.

Pada tahun 2020 ini penyelenggaraan pemilihan didasarkan pada ketentuan Pasal 201 UU 10/2016 yang dinyatakan : “pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September 2020.

Terkait dengan regulasi penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tetap menggunakan Undang-Undang sebagai berikut :
-    UU 1/2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
-    UU 8/2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
-    UU 10/2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Dengan melihat masa tugas DPR yang akan berakhir masa jabatannya di bulan Oktober 2019 ini, dan dilantiknya anggota DPR yang baru, maka sangat tidak memungkinkan adanya perubahan peraturan perundang-undangan tersebut diatas terkait dengan penyelenggaraan pemilihan. Situasi dan kondisi anggota DPR yang mendekati berakhirnya masa tugasnya sangat tidak memungkinkan adanya perubahan ketiga undang-undang di atas yang dilakukan oleh lembaga legislatif. 

Sehingga dengan demikian regulasi yang akan di dijadikan dasar penyelenggaraan pemilihan masih tetap menggunakan ketiga undang-undang di atas (UU 1/2015, UU 8/2015 dan UU 10/2016), baik bagi Pemerintah, KPU, Bawaslu, DKPP dan DPR dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing.

Terkait dengan regulasi yang akan digunakan sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemilihan, terdapat beberapa persoalan kelembagaan pengawas pemilihan. Saat ini kelembagaan di tingkat Kabupaten/Kota sudah menjadi lembaga yang tetap (permanen) dengan masa tugas 5 (lima) tahun dan bukan lagi sebagai lembaga ad hoc (sementara). 

Nah, status lembaga pengawas pemilihan akan menjadi persoalan ketika lembaga pengawas di tingkat Kabupaten/Kota sudah menjadi lembaga tetap atau Bawaslu Kabupaten/Kota. Sehingga ada beberapa masalah terkait dengan Bawaslu Kabupaten/Kota yang akan menyelenggarakan pemilihan di wilayah kabupaten/kota, antara lain :

-          Apakah Bawaslu Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pemilihan di kabupaten/kota.
-          Bagaimana solusinya terkait dengan status kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota.

Perlu dipahami bersama bahwa pemiihan dengan pemilihan umum adalah 2 (dua) hal yang berbeda. Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota adalah merupakah ranah pemerintahan, sedangkan pemilihan umum adalah merupakan rezim pemilu untuk memilih legislatif dan Presiden-Wakil Presiden. 

Maka undang-undang yang mengatur terkait dengan mekanisme penyelenggaraan pergantiannya diatur oleh undang-undang tersendiri, yaitu UU 7/2017 Tentang Pemilhan Umum, sedangkan untuk penyelenggaraan pemilihan diatur dalam UU 10/2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Sedangkan Bawaslu di semua tingkatan dapat menyelenggarakan pemilu dan pemilihan sepanjang diatur secara tegas dalam undang-undang. Di dalam UU 10/2016 telah mengatur lembaga pengawas yang bertugas melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilihan, yaitu :

-    Bawaslu
-    Bawaslu Provinsi
-    Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota

Terkait dengan kelembagaan di tingkat kabupaten/kota di dalam UU 10/2016 masih menggunakan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota, padahal sekarang ini tidak ada Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota, karena sudah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. 

Apakah perubahan status menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota tidak dapat melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilihan di tingkat kabupaten/kota. Apakah tidak dapat dilakukan dengan pemberian kewenangan atribusi kepada Bawaslu Kabupaten/Kota.

Pertanyaan-pertanyaan yang timbul tersebut harus mendapatkan jawaban dalam kualifikasi dapat menyelesaikan masalah tersebut dalam kerangka hukum.

Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota adalah merupakan badan yang melakukan tugas pengawasan penyelenggaraan pemilu dan bukan penyelenggaraan lain, kecuali “ditentukan” oleh undang-undang. Terkait “ditentukan” tersebut harus dimaknai bentuknya seperti apa, apakah cukup dengan atribusi kewenangan yang diberikan melalui Peraturan Bawaslu misalnya, ataukah perubahan undang-undang, ataukah seperti apa. 

Jika kewenangan atribusi Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilihan diberikan oleh Peraturan Bawaslu, menurut penulis, tidak berdasar pada hokum, karena pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan atau Panwas Kabupaten/Kota berdasarkan undang-undang berikut tugas dan kewenangannya, sehingga jika tugas dan kewenangan atribusi untuk menyelenggarakan pengawasan untuk pemilihan diberikan oleh Peraturan Bawaslu sangat tidak tepat.

Bagaimana jika untuk memastikan status kelembagaan itu ditentukan oleh undang-undang ? mekanisme perubahan kelembagaan Panwas menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota ditentukan oleh undang-undang adalah sudah tepat, tetapi apakah DPR mampu untuk melakukan perubahan UU 10/2016 dalam waktu dekat, karena akhir tahun 2019 sudah dimulai tahapan penyelenggaraan pemilihan, padahal keanggotaan DPR akan segera berakhir. 

Maka sesuatu yang tidak memungkinkan untuk merubah kelembagaan Panwas Kabupaten/Kota sebagaimana UU 10/2016 sebagai dasar penyelenggaraan pemilihan, dengan undang-undang. Jika demikian, apa langkah yang haru dilakukan untuk status kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota mendapat legitimasi hokum untuk melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilihan. Dan jika persoalan tersebut tidak segara ada langkah hokum nyata, maka akan menjadi persoalan di kemudian hari, karena ini terkait dengan status kelembagaan pengawas pemilu.

Bawaslu RI sebagai penanggung jawab seluruh penyelenggaraan pemilu dan pemilihan, maka sangat harus berperan aktif untuk melakukan langkah hokum untuk memastikan status kelembagaan perangkat di bawah tidak menjadi persoalan di kemudian hari. 

Penyelenggaraan pemilihan telah dilaksanakan, namun persoalan status kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota yang telah dibentuk tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tugas-tugas kepengawasan, karena yang berwenang adalah Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota. Namun sampai saat ini, Bawaslu RI belum melakukan langkah hokum konkrit untuk memastikan status kelembagaan perangkatnya di bawah.

Ada satu lagi upaya yang seharusnya dapat ditempuh oleh Bawaslu Ri adalah melakukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 24, Pasal 32, Pasal 34 huruf c, 134 (1), (5) dan (6), 135 ayat (2), Psal 139, Pasal 140,  Pasal 141, Pasal 143 UU 1/2015 jo Pasal 30, Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 152 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 154 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 193B ayat (2) UU 10/2016. 

Bagaimana jika pengajuan tidak dilakukan oleh Bawaslu RI, namun diajukan oleh Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota. Jika mendasarkan pada struktur kelembagaan adalah Bawaslu RI, karena Bawaslu RI adalah struktur organisasi pengawas pemilu yang berada di pusat dan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan dan kebijakan terkait dengan kelembagaan pengawas pemilu di tingkat bawah. 

Karena pengajuan Judicial Review ini untuk menentukan kedudukan hokum (legal standing), apakah yang akan mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki legal standing atau tidak, jika tidak, maka akan ditolak oleh Mahkamah Kosntisui. 

Oleh karenanya, lembaga yang paling punya kepentingan hokum atau pihak yang sangat berkaitan secara langsung dengan pokok pengajuan Judicial Review, akan lebih tepat untuk mengajukan Judicial Review. Bawaslu RI sebagai penanggung jawab kelembagaan organisasi pengawas pemilu, maka Bawaslu RI yang memiliki legal standing untuk mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Kosntitus berkaitan dengan status Bawaslu Kabupaten/Kota untuk melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilihan di wilayahnya masing-masing, karena di UU 10/2016 lembaga pengawasnya disebut sebagai Panitia Pengawas Kabupaten/Kota dan bukan Bawaslu Kabupaten/Kota.

Di Jawa Timur ada 19 (Sembilan) Kabupaten/Kota yang akan menyelenggarakan pemilihan bupati dan walikota serentak tahun 2020. Maka semoga persoalan status lembaga pengawas telah ada kejelasan sebelum tahapannya dimulai.

Saat ini 19 (sembilan belas) kabupaten/kota di Jawa Timur akan menyelenggarakan pemilihan, maka Pemerintah Kabupaten/Kota akan menyiapkan anggaran, dan setiap lembaga baik KPU maupun Lembaga Pengawas akan mengajukan anggaran kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. 

Pertanyaannya adalah : apakah Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang untuk mengajukan anggaran pengawasan untuk penyelenggaraan pemilihan ? Secara hukum yang berhak mengajukan adalah Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota berdasarkan UU 10/2016. 

Panitia Pengawas Kabupaten/Kota saat ini sudah berubah menjadi Bawaslu, sehingga tidak mungkin dibentuk Panitia Pengawas Pemilihan di Kabupaten/Kota, karena telah terbentuk Bawaslu Kabupaten/Kota. 

Maka dengan demikian jika mendasarkan pada UU 10/2016 terkait dengan pendanaan, maka Bawaslu Provinsi Jawa Timur yang seharusnya mengajukan pendanaan atau anggaran untuk pengawasan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota di 19 (sembilan belas) Kabupaten/Kota. 

Maka tidak boleh hanya menyederhanakan masalah, oleh karena sudah terdapat Bawaslu Kabupaten/Kota, maka Bawaslu Kabupaten/Kota yang mengajukan anggarannya kepada Pemerintah Daerah. Secara prosedur tidak sesuai dengan kewenangannya, karena yang berwenang adalah Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota dan bukan Bawaslu Kabupaten/Kota. 

Semoga segera ada solusi agar penyelenggaraan pemilihan tidak dipenuhi dengan masalah-masalah yang bersifat administratif, banyak hal yang harus dikerjakan dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilihan yang luber dan judil serta beradab. Semoga.

Oleh : SRI SUGENG PUJIATMIKO, S.H.