Kompilasi Materi Hukum Konstitusi dan UUD’1945 Pertemuan I | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Kompilasi Materi Hukum Konstitusi dan UUD’1945 Pertemuan I

Kamis, 07 Maret 2024

 


Kompilasi

Hukum Konstitusi dan UUD’1945

Pertemuan I

    1.1.            Pengertian konstitusi

Pengertian tentang suatu istilah dapat diperoleh baik dari sisi makna kata maupun dari sisi realitas yang diwakili oleh kata tersebut. Dari aspek bahasa, konstitusi berasal dari bahasa Inggris “constitution” yang berasal dari asal kata “constitute”, “constitue” atau “to constitue” yang artinya adalah “membentuk”. Oleh karena itu kata “konstitusi” maknanya selalu terikat dalam konteks pembentukan suatu organ dan organisasi. Bahkan, adakalanya konstitusi itu ditempatkan sebagai dokumen pembentukan atau akta kelahiran suatu organisasi. Oleh karena itu setiap organisasi selalu memiliki konstitusi yang menjadi kesepakatan dasar pembentukan organisasi itu sendiri. Kesepakatan dasar tersebut pada awalnya tidak tertulis, namun lama kelamaan seiring dengan perkembangan peradaban selalu dituangkan dalam bentuk tertulis, bahkan dalam format khusus yang disahkan oleh pejabat publik.

Demikian pula halnya dengan konstitusi dalam konteks bernegara. Secara bahasa ada yang menempatkan sebagai dokumen yang membentuk negara sebagai suatu organisasi yang di dalamnya terdapat organ-organ negara. Bahkan, ada kalanya konstitusi juga menjadi sertifikat kelahiran negara karena keberadaan negara dimulai pada saat pemberlakuan konstitusi itu.

Sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, organisasi negara modern senantiasa membutuhkan konstitusi karena di dalam konstitusi itulah dituangkan kesepakatan dasar tentang tujuan negara yang hendak dicapai bersama, organ-organ apa yang dimiliki dan harus dibentuk, bagaimana mekanisme kerja dan hubungan antar organ negara, serta yang lebih penting lagi adalah hak dan kedudukan warga dalam kehidupan bernegara. Semakin kompleknya kehidupan dan urusan yang ditangani oleh negara, semakin diperlukan pengaturan dan kebutuhan diwujudkan dalam satu dokumen tertulis juga menjadi semakin penting. Oleh karena itu, di era modern konstitusi diartikan olehBrian Thompson sebagai “a document which contains the rules for the the operation of an organization”.1

Hampir semua negara saat ini memiliki konstitusi tertulis dalam satu dokumen tersendiri. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang tidak memiliki konstitusi dalam arti satu dokumen hukum khusus. Walaupun demikian mereka mengenal istilah konstitusi, tetapi merujuk kepada aturan undang-undang dan praktik yang dinilai mendasar dan penting. Oleh karena itu dalam khazanah hukum di Inggris konstitusi diartikan sebagai “a body of laws, customs and conventions that define the composition and powers of the organs of the State and that regulate the relations of the various State organs to one another and to the private citizen.”2Konstitusi Inggris itu menurutnya adalah suatu bangun aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan organ-organ negara dan yang mengatur hubungan-hubungan di antara berbagai organ negara itu satu sama lain, serta hubungan organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.3

Khusus tentang konstitusi suatu negara, mengingat negara adalah organisasi kekuasaan, maka substansi konstitusi dapat dilihat sebagai hukum yang mengatur kekuasaan. Konstitusi mengatur tentang sumber kekuasaan, struktur kekuasaan, pembagian kekuasaan, dan pembatasan kekuasaan di suatu negara. Oleh karena itu konstitusi menurut Ivo D. Duchacek diartikan sebagai “identify the sources, purposes, uses and restraints of public power”4.Friedrich mendefisikan konstitusi sebagai “an institutionalised system of effective, regularised restraints upon governmental action”5.Dalam pengertian demikian, persoalan  yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.6

 

1.2  Ragam Istilah

Lazim dipahami bahwa salah satu sendi hukum ketatanegaraan yang paling utama adalah konstitusi. Boleh dikatakan dewasa ini setiap negara di dunia memiliki konstitusi. Konstitusi berasal dari Bahasa Latin, constitutio.1 Istilah ini berkaitan dengan kata jus atau ius, yang berarti hukum atau prinsip.2 Saat ini, bahasa yang biasa dijadikan rujukan istilah konstitusi adalah bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Portugis, dan Belanda. Menurut Jimly Asshiddiqie, untuk pengertian constitution dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan antara constitutie dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman memebdakan antara verfassung dan gerundgesetz. Malah dalam bahasa Jerman pengertian tentang konstitusi ini dibedakan pula antara gerundrecht dengan gerundgesetz seperti antara grondrecht dengan grondwet dalam bahasa Belanda. Gerundrecht (Jerman) dan grondrecht (Belanda) secara harfiah berarti hak dasar, tetapi sering juga diartikan sebagai hak asasi manusia.3

Dalam bahasa Prancis, digunakan istilah Droit Constitutionel untuk pengertian luas, sedangkan pengertian sempit, yaitu konstitusi yang tertulis digunakan istilah Loi Constitutionnel. Droit Constitutionnel identik dengan pengertian konstitusi, sedangkan Loi Constitutionnel identik dengan Undang- Undang Dasar dalam bahasa Indonesia, yaitu dalam arti konstitusi tertulis.4

                Dalam bahasa Italia, istilah yang dipakai untuk pengertian konstitusi adalah Dirrito Constitutionale. Dalam bahasa Arab dipakai pula beberapa istilah yang terkait dengan pengertian konstitusi itu, yaitu Masturiyah, Dustuur, atau Qanun Asasi.5

Di Negeri Belanda, pada awalnya digunakan istilah staatsregeling untuk menyebut konstitusi. Tetapi, atas prakarsa Gijbert Karel van Hogendorp pada tahun 1813, istilah grondwet digunakan untuk menggantikan istilah staatsregeling yang juga memiliki pengertian undang-undang dasar atau konstitusi.6 Menurut Jimly Asshiddiqie, di berbagai negara di Eropa Kontinental, yang menganut tradisi civil law, istilah konstitusi memang selalu dibedakan antara pengertian konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi yang tertulis itulah yang biasa disebut dengan istilah-istilah grondwet (Belanda), gerundgesetz (Jerman), Loi Constituionnel (Prancis). Sementara itu, kata constitutie, verfassung, gerundrecht, grondrecht, Droit Constitutionnel, Dirrito Constitutionale, merupakan istilah- istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian dalam arti sempit tersebut. Tulisan ini memaknai konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi perlu diperingatkan bahwa konstitusi hanya salah satu sumber hukum tata negara. Selain konstitusi, ada berbagai kaidah-kaidah lain, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan, kebiasaan (konvensi), dan yurisprudensi, yang menjadi sumber dan aturan-aturan hukum tata negara.8

Dalam penyusunan konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan  dalam  praktik  penyelenggaraan negara  turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis, perumusan yuridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan saksama, untuk dapat dimengerti sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar.

Sebagai contoh negara pada yang didasarkan atas prinsip demokrasi misalnya, yang menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan ditentukan oleh rakyat, aturan hukum tentang hubungan antara masyarakat dengan penguasa dan antaranggota masyarakat sendiri, akan mencerminkan perwujudan setiap kemugkinan dari pelaksanaan kekuasaan rakyat. Isi segenap pengaturan hukumnya akan emnghidnari perumusan yang bisa berakibat pengekangan pelaksanaan kekuasaan rakyat tadi. Arahnya bersifat membuka jalan dan memudahkan (fasilitatif) penyaluran hasrat rakyat dalam pembentukan kebijaksanaan pemerintahan. Jika prinsip kekuasaan di tangan rakyat menjadi patokan dasar dalam mengatur kehidupan kenegaraan karena tercantum dalam konstitusi, maka dapat dijelaskan misalnya, mengapa tidak dibolehkan munculnya aturan hukum yang memuat kekangan terhadap hak menyatakan pendapat. Tidak lain karena prinsip kekuasaan di tangan rakyat tidak mungkin diwujudkan tanpa didahului dengan kemampuan rakyat untuk menyatakan apa yang ada dalam kalbunya, menentukan mana yang baik dan tidak, memilih apa yang diinginkannya, dan apa yang tidak disukainya.

Negara adalah satu organisasi. Negara modern merupakan satu organisasi otoritas yang sasaran kegiatan dengan otoritasnya adalah mengatur satu masyarakat yang ada secara keseluruhan. Pada dasarnya ketentuan yang menyangkut organisasi, susunan, wewenangnya serta alat perlengkapan negara dan hubungannya satu sama lain disusun dan ditetapkan oleh konstitusi, yang berfungsi sebagai hukum tertinggi. Oleh karenanya mengubah kekuasaan atau kewenangan suatu lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari konstitusi, harus dilakukan dengan mengubah konstitusi. Pada umumnya konstitusi

menentukan struktur, komposisi, fungsi dan kekuasaan organ, hubungan organ yang satu dengan yang lain, serta hubungan Negara dengan warganegaranya. Salah satu muatan paling penting dari suatu Undang-Undang Dasar (konstitusi) adalah bagaimana penyelenggaraan kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga negara yang menjalankan kekuasaan itu. Semua lembaga negara merupakan subsistem dari keseluruhan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara. Oleh karena itu, sistem penyelenggaraan kekuasaan negara adalah menyangkut mekanisme dan tata kerja antarlembaga negara tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mejalankan kekuasaan negara. Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara menggambarkan secara utuh cara bekerjanya lembaga-lembaga negara yang diberi kekuasaan untuk mencapai tujuan negara.

Membangun kultur konstitusi yang berdasar akal sehat di antara lembaga Negara dan semua warganegara, terutama mereka yang memiliki kewenangan menafsirkan konstitusi untuk menjabarkannya dalam peraturan perundang- undangan yang lebih rendah, merupakan suatu keniscayaan. Diperlukan pemahaman dan penghayatan yang dalam akan prinsip-prinsip yang berlaku secara universal dalam kehidupan bernegara berdasar konstitusionalisme. Kemampuan mengidentifikasi dan memberi makna secara tepat sumber keabsahan norma konstitusi yang menjadi dasar pembentukan norma yang lebih rendah, untuk menghindari uji materi yang dapat berakhir pada diktum norma yang dibentuk inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, memaksa semua pihak yang mempunyai kewenangan legislasi harus mengadopsi dan menggunakan cara berfikir dan bekerja hakim (MK) dalam menilai dan menguji sendiri konnstitusionalitas norma yang dicoba dirumuskannya. Kegagalan untuk memahami terjadinya perubahan atau pergeseran paradigmatik terutama ketika perubahan konstitusi terjadi secara bertahap, sehingga legislator memberi makna suatu norma konstitusi dengan arti tertentu dan kemudian melakukan regulasi dan merumuskan norma yang lebih rendah berdasar paradigma yang tidak sesuai dengan pergeseran mendasar ketika terjadi perubahan UUD pada tahap berikut yang membentuk paradigma baru, pastilah menjadi problematik dari sisi konstitusionalitasnya. Konstitusi merupakan hukum tertinggi di satu negara. Tidak boleh ada lembaga atau cabang kekuasaan negara melakukan kebijakan atau merumuskan norma hukum yang bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum tertinggi tersebut. Seluruh lembaga negara atau kekuasaan negara yang memperoleh kewenangannya dari konstitusi, menjadi pelayan yang harus tunduk pada konstitusi sebagai tuannya. Tidak boleh ada lembaga atau kekuasaan Negara sebagai pelayan, melaksanakan kekuasaannya secara bertentangan dengan konstitusi sebagai sumber kewenangannya yang menjadi tuan.

Sebaliknya, pada negara yang mendasarkan diri pada prinsip kedaulatan negara sebagai norma konstitusi, juga terdapat patokan dasar yang ditaati dalam menyusun aturan-aturan hukum selanjutnya, sebagaimana contoh negara demokrasi tadi. Hanya saja sumber kekuasaannya adalah negara sendiri. Sedangkan dalam negara demokrasi tadi sumbernya adalah kedaulatan rakyat. Dalam prinsip kedualatan negara, arah hubungan rakyat dan penguasa akan berlainan dengan dalam negara yang berkedaulatan rakyat. Bisa dimengeti di sini jika tidak dibutuhkan aturan yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat oleh rakyat, misalnya. Yang justru dijaga ialah agar tidak ada isi aturan hukum yang akan berakibat merongrong atau mengurangi wibawa negara. Ini sering disamakan dengan tidak merongrong atau mengurangi wibawa pemerintahnya, karena pemerintah (kepala negara, raja, atau despot) adalah lambang konkretisasi negara.

Dari kedua contoh sederhana itu menunjukkan bahwa dasar pikiran yang kemudian menjadi aturan-aturan dalam konstitusi, selanjutnya akan menentukan bagaimana aturan-aturan hukum di negara itu akan dibuat. Asas kedaulatan rakyat maupun asas kedaulatan negara sama-sama merupakan pikiran dasar mengenai susunan negara, yang pada intinya merupakan konsep tentang negara, yang akan menjadi pangkal dari pertumbuhan isi dan arah aturan hukum negara selanjutnya. Menurut Marsilam Simanjuntak, konsep tentang negara (staatidee) adalah sumber yang lebih awal dari kerangka yang disusun dalam sebuah konstitusi.9 Diuraikan lebih lanjut, bahwa konsep tentang negara di satu pihak akan mempunyai konsekuensi pada hukum tata negara dan kehidupan negara pada umumnya.10

Ketika perubahan UUD terjadi secara bertahap, dan satu konsep atau norma yang dirumuskan dimasukkan kedalam struktur konstitusi yang sudah terbentuk, maka makna awal yang diberi kepada norma tertentu yang mengandung konsep tertentu, akan menerima pengaruh dari seluruh sistem dalam konstitusi ketika dia memasuki struktur konstitusi. Norma baru harus mengalami harmonisasi dengan keseluruhan struktur dan sistem dalam konstitusi, tetapi sebaliknya juga norma yang sudah ada sebelumnya dalam konstitusi sebelum perubahan, terutama yang berkaitan dengan konsepsi tertentu, akan menerima pengaruh. Dalam hal demikian maka original intent pembentuk/pembaharu, hanya merupakan salah satu jenis pemaknaan, yang tidak dapat digunakan secara berdiri sendiri. Semua perubahan yang terjadi secara bertahap dan dalam waktu yang berbeda, ketika masuk dalam struktur UUD 1945 tanpa analisis dampaknya secara konsepsional, baik terhadap organisasi maupun mekanisme penyelengaraan kekuasaan, dapat menyebabkan rnakna yang diperoleh berdasarkan tafsir yang tekstual individual, menghasilkan norma yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sebagai penjabaran UUD 1945 tidak konsisten, karena perubahan yang terjadi belakangan tidak memperhitungkan secara optimal dampaknya, baik secara konsepsional maupun struktural. Di India dikenal adanya doctrine of eclipse, yang berbicara tentang dampak perubahan konstitusi pada hukum secara keseluruhan. Perubahan konstitusi yang bertahap juga membawa pengaruh pada konstitusi. Norma-norma yang lebih lama tersebut "...will be regarded as having been 'eclipsed'. Meskipun sesungguhnya doktrin ini  dimaksudkan  berpengaruh  terhadap norma hukum dalam undang-undang  hampir mati atau menemui ajal, namun tidak void ab initio. Perubahan UUD yang datang kemudian secara parsial, akan seperti gerhana yang membawa bayangan, sehingga norma hukum dalam Undang-Undang yang dirumuskan sebagai jabaran norma konstitusi yang secara konsepsional dan structural terpengaruh oleh perubahan konstitusi yang terjadi kemudian, akan sangat mungkin bertentangan dengan konstitusi, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Hal tersebut jugalah yang memperkuat kebutuhan mutlak dalam memandang konstitusi sebagai satu struktur yang utuh, sehingga tidak boleh satu pasal tertentu ditafsir secara terpisah lepas dari struktur yang utuh, yang boleh jadi secara gramatikal atau tekstual sangat jelas sebagai penafsiran awal yang harus dilakukan, tetapi ketika dilihat secara keseluruhan dalam satu struktur dan sistem konstitusi yang utuh, norma tertentu mengalami pemaknaan tertentu yang berbeda, bahkan terkadang sangat radikal. Merupakan hal yang niscaya jikalau terjadi interdependensi antara teks dengan struktur konstitusi itu sendiri.

 

Konsep tentang negara itu dapat dikenali karena lazimnya dituangkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi, tentu dengan catatan jika negara yang bersangkutan mempunyai konstitusi sebagai dokumen tertulis. Hanya saja, perumusan undang-undang dasar tidak selalu mengatur secara lengkap dan rinci segala sesuatunya atau rumusannya masih mengandung makna ganda atau ketidakpastian, sehingga sering dibutuhkan pedoman lain untuk menanggulangi masalah yang timbul. Selain dari penjelasan resmi yang tersedia, pedoman ini antara lain didapat melalui berbagai cara penafsiran atas rumusan yang terkandung dalam konstitusi tadi.

Pada sisi lain, seperti dikatakan oleh Kusnu Goesniadhie, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap konstitusi dapat terus berkembang dalam praktik di kemudian hari.11 Berkaitan dengan hal ini, maka penafsiran terhadap konstitusi pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya, sehingga konstitusi tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.12 Seperti yang dikatakan oleh Bagir Manan, tidaklah cukup untuk memahami hukum ketatanegaraan suatu negara kalau hanya menggantungkan atau mengukur segala sesuatu dengan asas atau aturan yang ada dalam konstitusi.13

 

1.3  Konsep Dasar Konstitusi

Secara umum terdapat dua macam konstitusi yang dianut di berbagai negara, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar (UUD), yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak asasi manusia.

Negara yang termasuk kategori negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak asasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak asasi manusia rakyat Inggris. Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah, maka Inggris masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.

Pada hampir semua konstitusi tertulis, diatur mengenai pembagian kekuasaan berdasarkan jenis-jenis kekuasaan. Kemudian berdasarkan jenis kekuasaan itu dibentuklah lembaga- lembaga negara. Dengan demikian, jenis kekuasaan itu perlu ditentukan terlebih dahulu, baru kemudian dibentuk lembaga negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan jenis kekuasaan tertentu itu.

Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara. Karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan penyelenggaraan negara juga diatur dalam konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat membawa perubahan yang besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Bisa jadi, suatu negara yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam konstitusinya.

Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang diatur dalam konstitusi dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai perubahan konstitusi itu sendiri, yang kemudian proseduralnya dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan yang terjadi adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan semena-mena dan bersifat sementara ataupun keinginan dari sekelompok orang tertentu.

Pada dasarnya ada dua macam sistem yang lazim digunakan dalam praktek ketatanegaraan di dunia dalam hal perubahan konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku secara keseluruhan (penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di dunia. Sistem yang kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli tadi. Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Sistem ini dianut oleh Amerika Serikat.

Para funding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia telah sepakat untuk menyusun sebuah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis dengan segala arti dan fungsinya. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia sebagai sesuatu ”revolusi grondwet” telah disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh panitia persiapan kemerdekaan Indonesia dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, sekalipun Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 itu merupakan konstitusi yang sangat singkat dan hanya memuat 37 pasal, namun ketiga materi muatan konstitusi yang harus ada menurut ketentuan umum teori konstitusi telah terpenuhi dalam UUD 1945 tersebut.

Pada dasarnya kemungkinan untuk mengadakan perubahan atau penyesuaian itu memang sudah dipikirkan oleh para penyusun UUD 1945 itu sendiri, hal ini tampak jelas dalam rumusan pasal 37 UUD 1945 tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Dan apabila MPR bermaksud akan mengubah UUD melalui pasal 37 UUD 1945, sebelumnya hal itu harus ditanyakan lebih dahulu kepada seluruh Rakyat Indonesia melalui suatu referendum. (Tap no.1/ MPR/ 1983 pasal 105-109 jo. Tap no.IV/MPR/1983 tentang referendum).

Di era reformasi, perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan ke empat pada sidang tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya komisi konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komperhensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang pembentukan komisi Konstitusi.

Selain itu, dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia, terdapat empat macam konstitusi yang pernah berlaku, yaitu: Pertama, Periode 18 Agustus 1945–27 Desember 1949 (UUD 1945 awal). Saat Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik yang baru ini belum mempunyai undang-undang dasar. Sehari kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Rancangan Undang-Undang disahkan oleh PPKI sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia setelah mengalami beberapa proses.

Kedua, Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950. (Konstitusi RIS). Perjalanan negara baru Republik Indonesia ternyata tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan untuk kembali berkuasa di Indonesia. Akibatnya Belanda mencoba untuk mendirikan negara-negara seperti negara Sumatera Timur, negara Indonesia Timur, negara Jawa Timur, dan sebagainya. Sejalan dengan usaha Belanda tersebut maka terjadilah agresi Belanda 1 pada tahun 1947 dan agresi 2 pada tahun 1948. Agresi ini mengakibatkan diadakannya KMB yang melahirkan negara Republik Indonesia Serikat, sehingga UUD yang seharusnya berlaku untuk seluruh negara Indonesia itu hanya berlaku untuk negara Republik Indonesia Serikat saja.

Ketiga, Periode 17 Agustus 1950 5 Juli 1959 (UUDS 1950). Periodefederal dari Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949 merupakan perubahan sementara, karena sesungguhnya bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 menghendaki sifat kesatuan, maka negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama karena terjadinya penggabungan dengan Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan wibawa dari pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, akhirnya dicapailah kata sepakat untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi negara kesatuan yang akan didirikan jelas perlu adanya suatu undang-undang dasar yang baru dan untuk itu dibentuklah suatu panitia bersama yang menyusun suatu rancangan undang-undang dasar yang kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh badan pekerja komite nasional pusat dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950 dan berlakulah undang-undang dasar baru itu pada tanggal 17 Agustus 1950.

Keempat, Periode 5 Juli 1959 – 1998 (Berlakunya kembali UUD 1945). Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945. Dan perubahan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Lama pada masa 1959-1965 menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Baru. Perubahan itu dilakukan karena Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Lama dianggap kurang mencerminkan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.

 

1.4         PENGERTIAN KONSTITUSI

Istilah konstitusi secara etimologis berasal dari constituer (Perancis), constitution (Inggris), constitutie (Belanda), konstitution (Jerman), constitutio (Latin) yang secara umum berarti undang-undang dasar atau hukum dasar. Jimly Asshiddiqie mendefinisikan, konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tertulis (lazim disebut Undang[1]Undang Dasar), dan dapat pula hukum tidak tertulis.1 Tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar, contohnya adalah Kerajaan Inggris yang biasanya disebut sebagai negara konstitusional, tetapi pada kenyataannya tidak memiliki konstitusi tertulis, namun bukan berarti Kerajaan Inggris tidak memiliki konstitusi, nilai dan norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negaranya yang diakui sebagai hukum dasar. Berikut ini adalah pengertian-pengertian konstitusi menurut beberapa ahli yang mendefinisikan konstitusi lebih luas dari Undang Undang Dasar, diantaranya adalah :

Ø  L.J. Van Apeldorn Membedakan secara jelas pengertian konstitusi dengan Undang Undang Dasar, menurut Apeldorn Undang Undang Dasar (Grondwet) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan konstitusi (constitutie) memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis.

Ø  Ferdinand Lasalle Dalam bukunya Uber Verfassungswessen membagi konstitusi dalam 2 (dua) pengertian. Pertama, pengertian sosiologis dan politis (sosciologische atau politische begrip), hal ini dimaknai bahwa konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat), yaitu misalnya raja, parlemen, kabinet kelompok-kelompok penekan, partai politik, dan sebagainya. Dinamika hubungan diantara kekuatan-kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya yang dipahami sebagai konstitusi. Kedua, pengertian yuridis (yuridische begrip), konstitusi dilihat sebagai suatu naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan negara. Pemikiran Ferdinand Lasalle ini banyak dipengaruhi oleh aliran kodifikasi, sehingga sangat menekan pentingnya pengertian yuridis mengenai konstitusi. Dalam perkembangannya, konstitusi diberi makna sama dengan Undang Undang Dasar, karena dalam prakteknya hampir semua negara mempunyai Undang Undang Dasar kecuali Inggris.

Ø  C.F. Strong Mendefinisikan konsitusi sebagai berikut “Constitution is collection of principles according to wich the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted”. Konstitusi merupakan kumpulan prinsip – prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat), dan hubungan diantara keduanya. Menurut C.F. Strong, konstitusi dapat berupa catatan tertulis yang ditemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman, atau konstitusi dapat berwujud sekumpulan hukum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hukum konstitusi. Pengertian konstitusi menurut C.F. Strong ini merupakan pengertian yang luas, karena sebuah konstitusi tidak cukup hanya mengatur fungsi dan kewenangan kerangka masyarakat politik (negara), tetapi termasuk alat-alat kelengkapan negara yang diatur secara hukum, dan juga harus mengatur hak-hak rakyat yang diperintah dan mengatur hubungan keduanya.

Ø  Sri Soemantri Menyatakan bahwa pada umumnya Undang Undang Dasar atau konstitusi berisikan 3 (tiga) hal pokok, yaitu : (a) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya ; (b) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental ; (c) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.

 

Dengan demikian materi yang diatur dalam setiap konstitusi merupakan penjabaran dari ketiga masalah pokok tersebut. Namun secara umum dalam setiap konstitusi, mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam negara, perlindungan hak asasi manusia dan hubungan antara penguasa dan yang dikuasai (rakyat). Dalam perkembangannya, istilah konstitusi memiliki dua arti :

Ø  Dalam arti luas, konstitusi adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (Droit Constitunelle). Artinya konstitusi bisa berwujud hukum tertulis, tidak tertulis, atau campuran dari keduanya.

Ø  Dalam arti sempit, konstitusi adalah piagam dasar atau Undang – Undang Dasar (Loi Constitunelle), yaitu dokumen-dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara

Ø   

1.5  HAKIKAT, TUJUAN, DAN SIFAT KONSTITUSI

 a . Hakikat konstitusi adalah :

ü  Mengatur struktur negara Dalam hal ini mengatur tentang lembaga-lembaga negara, mekanisme hubungan antar lembaga negara, tugas dan fungsi lembaga negara dan hubungan lembaga negara dengan warga negara.

ü  Menjamin hak asasi manusia Pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi mutlak harus ada, karena hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang harus diakui keberadaannya dalam hukum dasar. Sekaligus perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu prinsip pokok tegaknya sebuah negara hukum.

ü  Pengakuan adanya pluralisme Dalam arti bahwa suatu negara terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama. Hendaknya perbedaan suku, ras dan agama tersebut diakui dan dijamin keberadaannya, serta dilindungi oleh negara.

b .  Tujuan Konstitusi

Di kalangan para ahli hukum pada umumnya, dipahami bahwa hukum mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu : kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Kepastian hukum terkait dengan ketertiban dan ketenteraman. Kemanfaatan diartikan bahwa nilai – nilai hukum diharapkan dapat menjamin terwujudnya kedamaian hidup bersama. Sedangkan keadilan itu sepadan dengan keseimbangan, kepatutan, dan kewajaran. Karena konstitusi merupakan bagian dari hukum yang paling tinggi tingkatannya, tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah keadilan, ketertiban dan perwujudan nilai – nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan, kesejahteraan atau kemakmuran, sebagaimana dirumuskan tujuan bernegara oleh para pendiri bangsa (the founding fathers and mothers).

Misalnya, empat tujuan bernegara Indonesia adalah seperti yang termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945. Keempat tujuan itu adalah (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, (ii) memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sehubungan dengan itulah, beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional, atau negara berkonstitusi. Negara – negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, konstitusi mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.

Negara adalah sarana dasar untuk mengawasi proses –proses kekuasaan, yang dalam hal ini dilandaskan pada konstitusi. Konstitusi mempunyai dua tujuan, yaitu :

ü  Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik.

ü  Untuk membebaskan kekuasaan dari control mutlak penguasa, serta menetapkan batas-batas bagi para penguasa tersebut

Beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi seperti merumuskan tujuan negara. Menurut J.Barents, ada tiga tujuan negara, yaitu :

ü  Memelihara ketertiban dan ketenteraman

ü  Mempertahankan kekuasaan

ü  Mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan – kepentingan umum.

Pada prinsipnya, konstitusi harus bertujuan untuk menjamin kebebasan individu, tetapi tidak dengan melemahkan kekuasaan negara, artinya negara tetap harus berdiri tegak untuk mempertahankan kekuasaan yang efektif , sehingga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara.

c.       Sifat Konstitusi

Naskah konstitusi atau Undang-Undang Dasar dapat bersifat luwes (flexible), atau kaku (rigid). Ukuran yang biasanya dipakai oleh para ahli untuk menentunkan apakah suatu konstitusi bersifat flexible atau rigid adalah : (i) apakah terhadap naskah konstitusi itu dimungkinkan dilakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau sulit, dan (ii) apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak dalam mengikuti perkembangan zaman. Konstitusi itu pada hakikatnya merupakan hukum dasar yang tertinggi dan menjadi dasar berlakunya peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah, para penyusun atau perumus Undang-Undang Dasar selalu menganggap perlu menentukan tata cara perubahan yang tidak mudah. Dengan prosedur yang tidak mudah, menjadi tidak mudah pula orang untuk mengubah hukum dasar negaranya, kecuali apabila hal itu memang sungguh-sungguh diperlukan karena pertimbangan yang objektif dan untuk kepentingan seluruh rakyat, serta bukan untuk memenuhi keinginan atau kepentingan segolongan orang yang berkuasa saja. Konstitusi yang demikian disebut dengan konstitusi rigid atau kaku. Sebaliknya, ada Undang – Undang Dasar yang mensyaratkan tata cara perubahannya tidak terlalu berat, dengan pertimbangan agar tidak mempersulit proses perubahan, sehingga dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman. Konstitusi ini disebut dengan konstitusi flexible atau luwes.

 

Disusun dari beberapa refensi :

-          Konstitusi dan Konstisionalisme

-          Hukum Konstitusi di Indonesia

-          Konstitusi dan Perubahan Konstitusi

  Download : Klik Disini