PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH DPRD TIDAK SESUAI KONSEPSI SISTEM
PEMERINTAHAN DAERAH
OLEH : JAMIL, S.H., M.H.
Sistem
pemilihan kepala daerah kembali menjadi perbincangan hangat oleh para elit
politik, pengamat, penyelenggara pemilu dan akademisi. Pro kontra antara
pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung kembali diperdebatkan dengan
berbagai argumentasi dan perspektif.
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) memang tidak menentukan
secara tegas dan jelas sistem pemilihan kepala daerah. Pasal 18 ayat (4) UUD
NRI 1945 hanya menentukan sistem “Demokratis” bagi pemilihan kepala daerah,
sedangkan sistem demokratis sangat beragam pengertiannya, sehingga baik
pemilihan kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung tidak
bertentangan dengan asas demokrasi.
Pemilihan
kepala daerah secara tidak langsung pernah diundangkan di masa menjelang berakhirnya
periodeisasi Presiden SBY, Pasal 3 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 secara expressis verbis menentukan bahwa
Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Propinsi, Bupati dan walikota dipilih oleh
anggota DPRD Kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka,
jujur dan adil, namun karena mendapat menolakan yang masip dari masyarakat
akhirnya undang-undang tersebut dicabut dengan Perppu No. 1 Tahun 2014 dan
hingga saat ini pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung.
Menjelang
pemilihan kepala daerah 2020 yang tahapannya sudah dimulai berjalan ini,
perbincangan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung kembali menghangat,
lalu bagaimanakah sebenarnya sistem pemilihan kepala daerah secara tidak
langsung (oleh DPRD) apabila dikaiitkan dengan sistem pemerintahan daerah
?
1. Pemilihan Kepala Daerah dan Sistem
Pemerintahan Daerah
Sistem
pemilihan kepala daerah pernah diatur dalam satu undang-undang dengan sistem
pemerintahan daerah diantaranya adalah Undang-undang No.22 Tahun 1999 yang
menentukan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung,dan Undang-undang No.
32 Tahun 2004 yang menentukan pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun sejak
tahun 2014 antara sistem pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah diatur
dalam undang-undang yang berbeda, sistem pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang No.23 tahun 2014, sedangkan sistem pemilihan kepala daerah diatur
dalam Undang-undang No. 1 tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang-undang
No.10 Tahun 2016.
Meskipun
diatur dalam undang-undang yang berbeda bukan berarti keduanya tidak memiliki
korelasi yang saling berkelindan. Pasal 57 Undang-undang No. 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah menempatkan Kepala Daerah dan DPRD satu paket
sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, berdasar ketentuan tersebut, cukup
argumentatif bagi pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya anggota DPRD itu
adalah bagian dari eksekutif bukan legislatif meskipun pendapat itu pastinya
belum final.
Penyatuan
antara kepala daerah dengan anggota DPRD sebagai penyelenggara daerah selain
lebih sesuai dengan konsep Negara kesatuan juga untuk membuat pemerintahan
daerah lebih efektif, UU 23/2014 diatas seakan mengatakan bahwa dalam sistem
pemeritahan daerah tidak ada pemisahan kekuasaan (sparation of power) sebagaimana yang terjadi di pemerintahan pusat,
keduanya harus bersatu dalam mensukseskan program otonomi daerah yang berbasis
pada tiga asas pokok otonomi yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind
(pembantuan).
Atas
dasar hal tersebut, bagi penulis keduanya harus memiliki kesataraan dalam
kedudukannya dan tingkat legitimasinya tidak boleh ada yang merasa lebih tinggi
kedudukannya dan legitimasinya. Pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD secara
langsung dapat memberikan kesetaraan kedudukan dan tingkat legitimasi antara
keduanya. Sebaliknya, apa bila kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD, maka
kepala daerah memiliki tingkat legitimasi yang lebih rendah daripada anggota
DPRD, sehingga berpotensi kepala daerah akan tersandera oleh kepentingan
politik anggota DPRD yang tingkat keragaman partai politiknya lebih beragam
(lebih multi parpol) daripada pusat, karena Parpol di daerah tidak teriikat
dengan parlementari threshold.
Selain
alasan diatas, perjalanan sistem pemerintahan daerah sejak berlakunya UU.
NO.22/1999 hingga UU. 23/2014 memiliki dinamika yang mengarah pada penguatan
pemerintahan pusat tanpa menghilangkan sistem otonomi daerah, selain itu
kekuasaan DPRD yang pada UU. NO.22/1999 sangat kuat (legislative heavy) dinamikanya terus disetarakan dengan kekuasaan
kepala daerah. Oleh karenanya bila kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD,
maka konsep pemerintahan daerah akan mundur lagi kebelakang sebagaimana konsep
UU. No.22/1999.
2. Penutup
Efektifitas,
pemerintahan daerah pasti terganggu dan tersandera oleh kepentingan politik
para anggota dewan yang memiliki latar belakang partai politik yang lebih
beragam daripada parlemen pusat, apabila kepala daerah dipilih oleh anggota
DPRD (pilkada tidak langsung). Posisi anggota dewan sebagai penentu kepala
daerah akan menaikkan posisi tawar (bargaining
position) mereka dan hal itu tidak linier dengan upaya penguatan sistem
presidensial di pusat. Atas dasar itu penulis tidak sepakat gagasan pemilihan
kepala daerah dipilih oleh DPRD.