PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH DPRD TIDAK SESUAI KONSEPSI SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH DPRD TIDAK SESUAI KONSEPSI SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

Minggu, 01 Desember 2019



PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH DPRD TIDAK SESUAI KONSEPSI SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH
OLEH : JAMIL, S.H., M.H.

Sistem pemilihan kepala daerah kembali menjadi perbincangan hangat oleh para elit politik, pengamat, penyelenggara pemilu dan akademisi. Pro kontra antara pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung kembali diperdebatkan dengan berbagai argumentasi dan perspektif.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) memang tidak menentukan secara tegas dan jelas sistem pemilihan kepala daerah. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 hanya menentukan sistem “Demokratis” bagi pemilihan kepala daerah, sedangkan sistem demokratis sangat beragam pengertiannya, sehingga baik pemilihan kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung tidak bertentangan dengan asas demokrasi.
Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung pernah diundangkan di masa menjelang berakhirnya periodeisasi Presiden SBY, Pasal 3 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 secara expressis verbis menentukan bahwa Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Propinsi, Bupati dan walikota dipilih oleh anggota DPRD Kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur dan adil, namun karena mendapat menolakan yang masip dari masyarakat akhirnya undang-undang tersebut dicabut dengan Perppu No. 1 Tahun 2014 dan hingga saat ini pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung.
Menjelang pemilihan kepala daerah 2020 yang tahapannya sudah dimulai berjalan ini, perbincangan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung kembali menghangat, lalu bagaimanakah sebenarnya sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung (oleh DPRD) apabila dikaiitkan dengan sistem pemerintahan daerah ?   

1. Pemilihan Kepala Daerah dan Sistem Pemerintahan Daerah  
Sistem pemilihan kepala daerah pernah diatur dalam satu undang-undang dengan sistem pemerintahan daerah diantaranya adalah Undang-undang No.22 Tahun 1999 yang menentukan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung,dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang menentukan pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun sejak tahun 2014 antara sistem pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah diatur dalam undang-undang yang berbeda, sistem pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang No.23 tahun 2014, sedangkan sistem pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No.10 Tahun 2016.
Meskipun diatur dalam undang-undang yang berbeda bukan berarti keduanya tidak memiliki korelasi yang saling berkelindan. Pasal 57 Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan Kepala Daerah dan DPRD satu paket sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, berdasar ketentuan tersebut, cukup argumentatif bagi pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya anggota DPRD itu adalah bagian dari eksekutif bukan legislatif meskipun pendapat itu pastinya belum final.     
Penyatuan antara kepala daerah dengan anggota DPRD sebagai penyelenggara daerah selain lebih sesuai dengan konsep Negara kesatuan juga untuk membuat pemerintahan daerah lebih efektif, UU 23/2014 diatas seakan mengatakan bahwa dalam sistem pemeritahan daerah tidak ada pemisahan kekuasaan (sparation of power) sebagaimana yang terjadi di pemerintahan pusat, keduanya harus bersatu dalam mensukseskan program otonomi daerah yang berbasis pada tiga asas pokok otonomi yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind (pembantuan).
Atas dasar hal tersebut, bagi penulis keduanya harus memiliki kesataraan dalam kedudukannya dan tingkat legitimasinya tidak boleh ada yang merasa lebih tinggi kedudukannya dan legitimasinya. Pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD secara langsung dapat memberikan kesetaraan kedudukan dan tingkat legitimasi antara keduanya. Sebaliknya, apa bila kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD, maka kepala daerah memiliki tingkat legitimasi yang lebih rendah daripada anggota DPRD, sehingga berpotensi kepala daerah akan tersandera oleh kepentingan politik anggota DPRD yang tingkat keragaman partai politiknya lebih beragam (lebih multi parpol) daripada pusat, karena Parpol di daerah tidak teriikat dengan parlementari threshold.
Selain alasan diatas, perjalanan sistem pemerintahan daerah sejak berlakunya UU. NO.22/1999 hingga UU. 23/2014 memiliki dinamika yang mengarah pada penguatan pemerintahan pusat tanpa menghilangkan sistem otonomi daerah, selain itu kekuasaan DPRD yang pada UU. NO.22/1999 sangat kuat (legislative heavy) dinamikanya terus disetarakan dengan kekuasaan kepala daerah. Oleh karenanya bila kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD, maka konsep pemerintahan daerah akan mundur lagi kebelakang sebagaimana konsep UU. No.22/1999.

2. Penutup

Efektifitas, pemerintahan daerah pasti terganggu dan tersandera oleh kepentingan politik para anggota dewan yang memiliki latar belakang partai politik yang lebih beragam daripada parlemen pusat, apabila kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD (pilkada tidak langsung). Posisi anggota dewan sebagai penentu kepala daerah akan menaikkan posisi tawar (bargaining position) mereka dan hal itu tidak linier dengan upaya penguatan sistem presidensial di pusat. Atas dasar itu penulis tidak sepakat gagasan pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD.