Oleh : Sri Sugeng Pujiatmiko, S.H.
Alimmustofa.com - Bahwa dalam penyelenggaran Pemilihan Umum Tahun 2019 terdapat kurang lebih 260 perkara hasil perselisihan pemilihan umum (PHPU) terkait dengan pemilihan umum anggota DPR dan DPRD yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jumlah tersebut jauh menurun dibanding perkara PHPU tahun 2014.
Sistem Pemilu Legislatif dengan menggunakan sitem proporsional dengan daftar terbuka, maka akan menimbulkan persaingan antar partai dan internal caleg dalam satu partai politik akan sangat ketat dan keras, kompetisi antar caleg dalam satu partai kadang tidak sehat.
Akibat dari sistem proporsional dengan daftar terbuka terhadap perolehan hasil penghitungan suara tidak menutup kemungkinan akan berdampak pula perselisihan hasil antar caleg, sehingga antar caleg “saling tuding” melakukan pelanggaran Pemilu dan bahkan tuduhan mencuri suaranya, dan begitu sebaliknya, karena perebutan kursi dalam satu daerah pemilihan harus diperebutkan oleh 16 partai, yang masing-masing partai mengusulkan calegnya di daerah pemilihan tersebut. Melihat kondisi demikian, tidak menutup kemungkinan perselesihan hasil penghitungan suara tidak dapat terhindarkan, dan pasti akan terjadi.
Terkait dengan perselisihan hasil telah diatur pada Pasal 473 ayat (2) UU 7/2017 yang menyatakan : “perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu”.
Sedangkan tata cara penyelesaian perselisihan hasil diatur pada Pasal 474 UU 7/2017 yang menyatakan : “dalam hal terjadai perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD secara nasional, Peserta Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi”.
Jadi, jelas jika peserta pemilu yang akan mempersoalkan perolehan suara dapat mengajukan pembatalan penetapan hasil penghitungan KPU kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Peserta Pemilu dalam UU 7/2017 adalah Partai Politik, Calon Anggota DPD dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Jadi dengan demikian, yang dapat mengajukan perselisihan hasil kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perselisihan perolehan suara dalam Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD (Pileg) adalah Partai Politik.
Nah, terkait dengan hal itu, paling tidak ada 3 (tiga) pertanyaan, antara lain:
- Bagaimana tata cara pengajukan gugatan ke MK terhadap caleg yang akan mengajukan persoalan perolehan suara di daerah pemilihannya ?
- Bagaimana jika ada caleg yang akan mengajukan ke MK terhadap caleg lain dalam satu Partai, dan
- Bagaimana posisi caleg yang dipersoalkan di MK oleh caleg lain dalam satu Partai.
Oleh karena peserta Pemilunya adalah Partai Politik, maka pada prinsipnya yang berhak untuk mengajukan perselisihan hasil penghitungan suara di MK adalah harus melaui Partai Politik. Maka jika ada caleg yang akan mengajukan perselisihan hasil kepada MK harus melalui Partai Politik, tidak boleh caleg dengan serta merta mengajukan perselisihan hasil penghitungan suara langsung ke MK.
Artinya jika ada caleg yang akan mengajukan PHPU ke MK, maka harus melalui partai. Jadi, partai yang akan mengajukan PHPU ke MK dengan “mengkoordinir” seluruh caleg di seluruh daerah pemilihan di 34 Provinsi. Apakah bisa, caleg mengajukan sendiri perselisihan hasil ke MK ?
Jikalau ada caleg yang akan mengajukan sendiri terhadap perselisihan hasil ke MK, maka caleg tersebut harus mendapatkan persetujuan tertulis dari DPP Partai Politik, yaitu Ketua Umum dan Sekjen DPP Partai yang bersangkutan untuk mengajukan gugatan perselisihan penghitungan suara di MK.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Tata Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, dalam Pasal 3 telah diatur : “perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu partai politik yang sama yang telah memperoleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan”.
Jadi, caleg yang telah memperoleh persetujuan tertulis dari DPP Partai Politik dapat mengajukan diri sebagai Pemohon dalam PHPU di MK, tanpa persetujuan tertulis caleg dimaksud tidak boleh mengajukan perselisihan hasil ke MK. Pembatasan ini diatur di Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), sedangan di UU 7/2017 tidak mengatur terkait tata beracara seperti itu. Padahal secara fakta yang memahami problem dan masalah di daerah pemilihan masing-masing adalah caleg itu sendiri dan bukan partai politik.
Maka dengan pembatasan tata beracara harus diajukan oleh partai adalah sedikit menghambat “kebebasan” caleg dalam mengajukan perselisihan hasil ke MK.
Memang secara prinsip peserta pemilu adalah partai politik, tetapi ketika sudah ditetapkan menjadi Daftar Calon Tetap (DCT), maka segala hak dan kewajibannya serta akibat hukumnya melekat pada diri caleg yang bersangkutan, karena partai politik adalah badan hukum publik yang dalam melakukan perbuatan hukum diwakili oleh pengurus-pengurusnya. Tapi itulah aturan yang harus ditaati oleh peserta pemilu (parpol) maupun caleg yang akan mengajukan persesilihan hasil ke MK.
Bagaimana terhadap caleg lain dalam satu partai yang sama dipersolakan dalam permohonan PHPU di MK. Biar pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas, penulis akan memberikan contoh.
Contoh : misalnya Partai ABG mengajukan permohonan PHPU ke MK mewakili Caleg A selaku petahana (perolehan suaranya kalah dengan Caleg B) menuduh Caleg B melakukan pelanggaran dalam meraih dukungan suara menggunakan politik uang.
Posisi Caleg B sebagai Pemohon telah terwakili oleh partai politik dalam perkara PHPU di MK, tetapi bagaimana posisi Caleg B yang dipersoalkan partainya sendiri dituduh melakukan pelanggaran pemilu. Kedudukan hukum yang ‘tidak seimbang” dalam perkara PHPU antara Caleg yang diwakili oleh partai dibandingkan dengan caleg lain dalam satu partai yang sama dipersoalkan dalam perkara PHPU di MK, sebab partai politik masih diberikan “peran” dalam perselisihan hasil Pemilu di MK. Selanjutnya, bagaimana Caleg B tersebut akan mempertahankan hak-haknya yang dipersoalkan oleh partai sendiri (yang mewakili Caleg A).
Disinilah letak “kekacauan” kedudukan hukum Pemohon (partai yang mewakili caleg) dengan caleg yang lain yang dipersoalkan oleh partainya sendiri. Hal ini sangat tidak lazim dalam tata beracara, karena bagaimana mungkin partai poltik yang mengusulkan calon anggota DPR dan DPRD akan menggugat calegnya sendiri dengan memposisikan partai politik tersebut mewakili caleg dalam satu partai untuk menggugat. Artinya, dapat dianalogikan “orang tua kandung” mewakili “anak kandungnya” menggugat “anak kandung lainnya” terkait dengan silsilah kelahirannya.
Apakah hal ini seperti ini lazim dalam tata beracara, maka kekacauan ini harus segera diakhiri dengan jalan Mahkamah Konstitusi merubah PMK 2/2018.
Selanjutnya, yang lebih konyol lagi adalah : bagaimana jika caleg lain dalam satu partai yang dipersoalkan oleh partainya yang mewakili caleg.
Misalnya dalam contoh di atas : bagaimana sikap atau tindakan Caleg B terhadap gugatan yang diajukan oleh partainya sendiri yang mewakili Caleg A. PMK 2/2018 memberikan ruang bagi Caleg B dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b yang menyatakan : “perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yanh telah memperoleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari partai politik yang bersangkutan yang berkepentingan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b”. artinya Caleg yang digugut oleh Partainya yang mewakili Caleg dalam satu partai, dapat mengajukan dirinya sebagai Pihak Terkait jika telah memperoleh persetujuan tertulis dari DPP Partainya.
Mustahil partainya akan memberikan persetujuan, sehingga caleg yang digugat oleh partainya yang mewakili calegnya, sulit untuk mendapatkan surat persetujuan tertulis. Nah lantas bagaimana posisi caleg yang digugat partainya ? Caleg dimaksud tidak dapat berbuat banyak ketika digugat oleh partai, apakah mungkin partai yang telah mewakili caleg menggugat caleg lain, juga akan mewakili caleg yang digugat untuk membelanya. Ini tata beracara “aneh bin ajaib”.
Contoh di atas menunjukkan Caleg A yang diwakili oleh partainya untuk mengajukan permohonan PHPU menggugat Caleg B dalam satu partai, dan Caleg B tidak mendapatkan persetujuan tertulis untuk mengajukan dirinya sebagai Pihak Terkait, maka Caleg B kehilangan hak untuk membantah gugatan partainya yang mewakili Caleg A. apakah mungkin partainya juga mewakili Caleg B untuk membatah gugatan PHPU yang diajukan oleh partainya.
Makanya jika Caleg B tidak mendapatkan persetujuan, maka tidak akan menjadi Pihak Terkait untuk mempertahankan hak-haknya dalam perselisihan hasil (PHPU). Sangat tidak mungkin partai yang mewakili Caleg A akan membela Caleg B yang digugatnya. Tata beracara “dagelan” yang ditunjukkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam PMK 2/2018.
Maka oleh karenanya, PMK 2/2018 harus segera dicabut terkait dengan persetujuan tertulis tersebut. Seharusnya dalam berperkara di MK khususnya terkait dengan PHPU antar caleg, maka tidak perlu mendapatkan persetujuan partai politik, meskipun peserta pemilunya adalah partai politik, karena dengan diiusulkannya caleg dan telah ditetapkan dalam daftar calon tetap (DCT), maka segala hak dan kewajibannya selaku caleg telah melekat pada diri caleg tersebut dan “tugas” partai telah selesai dalam hal mengusulkan calon legislatifnya.
Sehingga jika persetujuan tertulis dari partai tidak diubah, maka caleg yang telah memperoleh suara terbanyak akan “terancam” ketika ada caleg lain dalam satu partai yang mengajukan perselisihan hasil dengan diwakili oleh partainya. Persetujuan tertulis ini diduga akan menjadi ajang “jual-beli” di internal partai, dan persetujuan tertulis tersebut akan menghambat hak caleg yang digugat partainya untuk mempertahankan perolehan suara yang telah diperolehnya, yang justru persetujuan terulis tersebut melanggar hak konstitusional caleg tersebut.
Padahal kita ketahui bersama bahwa Mahkamah Konstitusi seagai garda terdepan dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara, termasuk caleg. Ibarat “ibu kandung” yang mewakili anak kandungnya menggugat “anak kandung” lainnya terkait dengan kelahirannya atau terkait dengan silsilah anak.
Pengaturan hukum acara oleh Mahkamah Konstitusi yang tidak lazim dalam sistem hukum di Indonesia, maka perlu Mahkamah Konstitusi untuk meninjau kembali atau bahkan merubah PMK 2/2018, sehingga kebebasan caleg yang digugat oleh partainya dapat mempertahankan hak-haknya dalam perkara perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi.