AlimMustofa.com - Dalam penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan dalam siklus 5 (lima) tahunan yang
diikuti oleh Partai Politik sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat,
baik di pusat maupun di daerah.
Salah satu tahapan yang harus dilakukan oleh KPU adalah tahapan pencalonan yang merupakan pintu masuk calon anggota DPR, DPD dan DPRD untuk memasuki kontestasi dalam pemilihan umum. Beberapa persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislator adalah harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain terbebas dari hukuman pidana penjara yang telah diputus oleh lembaga peradilan.
Berdasarkan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 dinyatakan : “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Jadi, norma yang telah ditentukan oleh undang-undang adalah mantan narapidana boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ketentuan tindak pidana yang dilakukan dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum dapat membuat peraturan KPU sepanjang diperintah oleh undang-undang, maka oleh karenanya KPU tidak boleh membuat norma baru diluar yang telah dinormakan oleh undang-undang, karena Peraturan KPU sifat lebih teknis yang “menterjemahkan” ketentuan-ketentuan undang-undang. Sebagai contoh : “….kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”, maka KPU membuat pedoman teknis terkait dengan bagaimana makanisme mengemukakan secara terbuka dan jujur kepda public itulah yang menjadi domain/ranah KPU untuk membuat regulasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 4/PUU-VII/2009, tanggal 24 Maret 2009 yang amat putusannya antara lain, bahwa norma hukum tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Pertimbangan KPU terkait dengan mantan narapidana dan mantan terpidana hanya terbatas pada mantan terpidana kejahatan seksual anak, korupsi, dan narkoba saja, namun untuk mantan narapidana dan mantan terpidana tidak diatur oleh KPU sebagai pihak yang dilarang. KPU ingin mendorong bahwa 3(tiga) kualifikasi mantan narapidana dan mantan terpidana agar tidak boleh mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD agar wakil-wakil rakyat benar-benar bersih dari tindakan dan perilaku yang korup dan bersih dari tindakan-tindakan tercela, karena mantan narapidana dan mantan terpidana telah jelas pernah melakukan tindakan korup dan tercela. Kejahatan-kejahatan yang dalam kualifikasi perspektif KPU yang tidak boleh mencalonkan tersebut memang dalam kualifikasi kejahatan yang menjadi sorotan penegak hokum. KPU mengusulkan mantan narapidana dan mantan terpidana mungkin atas desakan masyarakat civil society yang peduli terhadap korupsi. Memang dalam satu sisi KPU bias saja mewakili masyarakat sipil, namun disisi lain harus tetap memegang pada norma yang telah ditetapkan pada undang-undang.
Seseorang dalam mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD hanya dibatasi dalam 2 (dua) hal, yaitu oleh undang-undang dan putusan pengadilan. Dalam perspektif undang-undang, telah diatur secara tegas norma terkait dengan mantan narapidana dan mantan terpidana. Sesuai dengan Pasal Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah memberikan norma bahwa mantan narapidana dan mantan terpidana boleh mencalonkan dirinya sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD, hanya ada pembatasan terkait dengan itu, yaitu harus sudah selesai menjalani pidananya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
Dalam perspektif putusan pengadilan adalah jika terdapat putusan pengadilan yang mencabut hak dipilihnya, maka secara hukum seseorang yang telah diputus oleh lembaga pengadilan dicabut hak dipilihnya (elected officials), tidak dapat mencalonkan dirinya sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD. Hanya 2 (dua) hal itulah yang dapat membatasi mantan narapidana dan mantan terpidana untuk mencalonkan sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD. Selain kedua hal tersebut, maka tidak ada dasar hokum bagi lembaga manapun yang melarang seseorang sebagai mantan narapidana dan mantan terpidana mencalonkan dirinya sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD.
Niat baik KPU haruslah diapresiasi, namun jangan sampai niat baik itu juga bertentangan dengan norma dan konstitusinal hak dari masyarakat untuk dipilih (elected officials). Sebenarnya, mantan narapidana dan mantan terpidana yang sudah selesai menjalani pidananya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dengan syarat yang bersangkutan menyampaikan kepada publik secara terbuka dan jujur bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana dan mantan terpidana. Tindakan itu saja telah menjadi beban tersendiri kepada public sebagai pertanggungjawaban moral bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Maksud menyampaikan kepada publik secara terbuka dan jujur tersebut adalah agar masyarakat memahani dan mengetahui bahwa calon legislatif tersebut adalah mantan terpidana.
Jikakalu mantan narapidana dan mantan terpidana tidak boleh mencalonkan sebagai calon legislatf dan Peraturan KPU diajukan judicial review di Mahkamah Agung dan ternyata putusan Mahkamah Agung membatalkan Peraturan KPU terkait dengan tidak dibolehkannya mantan narapidana dan mantan terpidana mencalonkan sebagai calon legislatif yang tahapan pencalonannya telah selesai dilakukan, maka hal ini dipersepsikan macam-macam oleh publik dan oleh mantan narapidana dan terpidana. Bisa saja dipersepsikan bahwa KPU hanya sekedar menghalang-halangi mantan narapidana dan terpidana untuk mencalonkan, jika tetap KPU mengatur mantan narapidana dan terpidana tidak boleh mencalonkan.
Jadi, menurut penulis, lebih baik KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum mematuhi norma hokum yang telah ditetapkan dan tidak memaksakan kehendak meskipun niatan itu baik, namun tidak boleh regulasi KPU juga akan membatasi orang diluar norma hukum yang sudah ditentukan.
Penulis: Sri Sugeng Pujiatmiko, S.H.
Salah satu tahapan yang harus dilakukan oleh KPU adalah tahapan pencalonan yang merupakan pintu masuk calon anggota DPR, DPD dan DPRD untuk memasuki kontestasi dalam pemilihan umum. Beberapa persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislator adalah harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain terbebas dari hukuman pidana penjara yang telah diputus oleh lembaga peradilan.
Berdasarkan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 dinyatakan : “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Jadi, norma yang telah ditentukan oleh undang-undang adalah mantan narapidana boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ketentuan tindak pidana yang dilakukan dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum dapat membuat peraturan KPU sepanjang diperintah oleh undang-undang, maka oleh karenanya KPU tidak boleh membuat norma baru diluar yang telah dinormakan oleh undang-undang, karena Peraturan KPU sifat lebih teknis yang “menterjemahkan” ketentuan-ketentuan undang-undang. Sebagai contoh : “….kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”, maka KPU membuat pedoman teknis terkait dengan bagaimana makanisme mengemukakan secara terbuka dan jujur kepda public itulah yang menjadi domain/ranah KPU untuk membuat regulasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 4/PUU-VII/2009, tanggal 24 Maret 2009 yang amat putusannya antara lain, bahwa norma hukum tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- Tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
- Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya.
- Dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
- Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Jadi secara konstitusional, mantan terpidana boleh mencalonkan dirinya sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD sepanjang telah selesai menjalani pidananya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum masa pendaftaran calon anggota legislatif.
Pertimbangan KPU terkait dengan mantan narapidana dan mantan terpidana hanya terbatas pada mantan terpidana kejahatan seksual anak, korupsi, dan narkoba saja, namun untuk mantan narapidana dan mantan terpidana tidak diatur oleh KPU sebagai pihak yang dilarang. KPU ingin mendorong bahwa 3(tiga) kualifikasi mantan narapidana dan mantan terpidana agar tidak boleh mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD agar wakil-wakil rakyat benar-benar bersih dari tindakan dan perilaku yang korup dan bersih dari tindakan-tindakan tercela, karena mantan narapidana dan mantan terpidana telah jelas pernah melakukan tindakan korup dan tercela. Kejahatan-kejahatan yang dalam kualifikasi perspektif KPU yang tidak boleh mencalonkan tersebut memang dalam kualifikasi kejahatan yang menjadi sorotan penegak hokum. KPU mengusulkan mantan narapidana dan mantan terpidana mungkin atas desakan masyarakat civil society yang peduli terhadap korupsi. Memang dalam satu sisi KPU bias saja mewakili masyarakat sipil, namun disisi lain harus tetap memegang pada norma yang telah ditetapkan pada undang-undang.
Seseorang dalam mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD hanya dibatasi dalam 2 (dua) hal, yaitu oleh undang-undang dan putusan pengadilan. Dalam perspektif undang-undang, telah diatur secara tegas norma terkait dengan mantan narapidana dan mantan terpidana. Sesuai dengan Pasal Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah memberikan norma bahwa mantan narapidana dan mantan terpidana boleh mencalonkan dirinya sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD, hanya ada pembatasan terkait dengan itu, yaitu harus sudah selesai menjalani pidananya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
Dalam perspektif putusan pengadilan adalah jika terdapat putusan pengadilan yang mencabut hak dipilihnya, maka secara hukum seseorang yang telah diputus oleh lembaga pengadilan dicabut hak dipilihnya (elected officials), tidak dapat mencalonkan dirinya sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD. Hanya 2 (dua) hal itulah yang dapat membatasi mantan narapidana dan mantan terpidana untuk mencalonkan sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD. Selain kedua hal tersebut, maka tidak ada dasar hokum bagi lembaga manapun yang melarang seseorang sebagai mantan narapidana dan mantan terpidana mencalonkan dirinya sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD.
Niat baik KPU haruslah diapresiasi, namun jangan sampai niat baik itu juga bertentangan dengan norma dan konstitusinal hak dari masyarakat untuk dipilih (elected officials). Sebenarnya, mantan narapidana dan mantan terpidana yang sudah selesai menjalani pidananya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dengan syarat yang bersangkutan menyampaikan kepada publik secara terbuka dan jujur bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana dan mantan terpidana. Tindakan itu saja telah menjadi beban tersendiri kepada public sebagai pertanggungjawaban moral bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Maksud menyampaikan kepada publik secara terbuka dan jujur tersebut adalah agar masyarakat memahani dan mengetahui bahwa calon legislatif tersebut adalah mantan terpidana.
Jikakalu mantan narapidana dan mantan terpidana tidak boleh mencalonkan sebagai calon legislatf dan Peraturan KPU diajukan judicial review di Mahkamah Agung dan ternyata putusan Mahkamah Agung membatalkan Peraturan KPU terkait dengan tidak dibolehkannya mantan narapidana dan mantan terpidana mencalonkan sebagai calon legislatif yang tahapan pencalonannya telah selesai dilakukan, maka hal ini dipersepsikan macam-macam oleh publik dan oleh mantan narapidana dan terpidana. Bisa saja dipersepsikan bahwa KPU hanya sekedar menghalang-halangi mantan narapidana dan terpidana untuk mencalonkan, jika tetap KPU mengatur mantan narapidana dan terpidana tidak boleh mencalonkan.
Jadi, menurut penulis, lebih baik KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum mematuhi norma hokum yang telah ditetapkan dan tidak memaksakan kehendak meskipun niatan itu baik, namun tidak boleh regulasi KPU juga akan membatasi orang diluar norma hukum yang sudah ditentukan.
Penulis: Sri Sugeng Pujiatmiko, S.H.