Pandangan Hukum Administrasi Tentang SK Pencoretan CALEG Dan Calon Perseorangan Mantan NAPI Korupsi | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Pandangan Hukum Administrasi Tentang SK Pencoretan CALEG Dan Calon Perseorangan Mantan NAPI Korupsi

Kamis, 06 September 2018

Oleh: JAMIL, S.H., M.H. (Anggota BAWASLU Sidoarjo)

AlimMustofa.com - Perbedaan pandang antara Bawaslu dan KPU dalam memperlakukan Napi Mantan Korupsi yang mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPR, DPD, dan DPRD, ramai diperbincangkan oleh kalangan yang beragam mulai kalangan akademisi, praktisi, aktivis sosial media hingga kalangan masyarakat biasa. Para akademisi khusunya pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (HTN-HAN) yang mendukung dan tidak mendukung juga terbelah secara berimbang.

Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar atau yang akrab disapa Mas Uceng serta pakar HTN F.H. UNAND sekaligus Ketua PUSaKO Feri Amsari pendapatnya cendrung berpihak pada KPU, sedangkan Pakar Hukum HTN lain seperti Mahfud MD, Refli Harun dan Irman Putra Sidin pendapatnya lebih cendrung membela Bawaslu.

Menurut penulis perbedaan pandang tersebut dipicu oleh penggunaan optik yang berbeda. Ada yang menyoroti dengan optik HTN dan ada yang menyoroti dari optik HAN. Bagi yang mempersoalkan putusan Bawaslu dengan mempertimbangkan komflik norma antara PKPU dengan Undang-undang ansich berarti menggunakan optik HTN sedangkan yang menilai Bawaslu melampau kewenangannya (abus de droit/abuse of power) dalam memutus karena cendrung menggunakan treatment pengujian PKPU (regeling) terhadap Undang-undang berarti menggunakan optik HAN.

Kedua disiplin ilmu yang sama-sama berasal dari ilmu hukum tersebut memang sangat tipis perbedaannya atau bahkan memang tidak bisa dibedakan tetapi banyak Fakultas Hukum di Indonesia memisahkan kedua disiplin ilmu tersebut (HTN dan HAN) kedalam departement yang berbeda. Oleh karenanya sangat wajar bila terjadi perbedaan pendapat antara para pakar hukum khususnya.

Karakteristik Penyelesaian Sengketa Di Bawaslu
Objek sengketa di Bawaslu adalah keputusan KPU yang oleh Perbawaslu dispesifikkan dalam bentuk surat keputusan (SK) atau Berita Acara (BA). (Pasal 466 UU.Pemilu Jo. Pasal 4 ayat (2) Perbawaslu 18/18). Dalam ilmu Hukum Administrasi Negara keputusan pejabat tata usaha negara (KPU) dikenal dengan istilah beschikking yaitu sebuah keputusan yang dikeluarkan pejabat tata usaha negara yang hanya mengikat orang perorang saja.

Karakter penyelesaian sengketa ini, sama dengan karakter peradilan TUN, perbedaanya bila di peradilan TUN mensyaratkan SK yang menjadi objek sengketa harus final sedangkan di Bawaslu tidak. Oleh karenanya, terhadap objek sengketa yang sudah final seperti SK DCT pihak yang belum puas terhadap putusan Bawaslu dapat melakukan upaya hukum lebih lanjut ke pengadilan tata usaha negara. (Pasal 469 ayat (2)).

Dalam posisi seperti ini, Bawaslu berfungsi sebagai lembaga banding administratif dalam penyelesaian sengketa administrasi. (Pasal 471UU Pemilu, Pasal 48 UU No. 5/1986 dan Pasal 75 UU No. 30/2014).
Beranjak dari hal diatas, maka yang diuji oleh Bawaslu adalah SK yang bersifat beschikking. Nah, bagaimanakah cara menguji SK ? Pasal 52 UU AP Undang-undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Adminitrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU AP) mensyaratkan pembuatan SK harus didasarkan pada hal-hal berikut, yaitu. 1. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, 2. dibuat sesuai prosedur; dan 3. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan. Selain itu SK juga harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umun pemerintahan yang baik (AUPB)
Seiring dengan ketentuan Pasal 52 UU AP diatas, Pasal 64 memberikan batasan dalam menguji SK, yaitu dilihat dari tiga aspek yang meliputi wewenang, prosedur dan/atau substansi serta tentunya juga kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan dan AUPB.  Dengan demikian Bawaslu hanya diberi wewenang membatalkan SK yang diujikan manakala dinilai cacat wewenang, prosedur dan/atau substansi. Menurut penulis pengkajian ini lebih pas dilakukan oleh Pakar Hukum Administrasi Negara bukan Hukum Tata Negara.

Apakah SK KPU dalam Mencoret Caleg Napi Cacat ?
Pertama harus dilihat dari wewenangnya dulu. Sumber wewenang ada tiga yaitu atributif, delegatif dan mandat.


  • Ciri-ciri wewenang atributif sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU AP adalah:


  1. Diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang,
  2. Merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak ada.
  3. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
  • Ciri-ciri Wewenang Delegasi
  1. Diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya.
  2. Ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah.
  3. Merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada. 
  • Sedangkan Ciri-ciri Wewenang Mandat adalah:
  1. Ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya.
  2. Merupakan pelaksanaan tugas rutin. 

Menurut penulis SK yang dikeluarkan KPU dalam mencoret caleg mantan napi korupsi adalah cacat wewenang karena diperoleh dari sumber wewenang yang salah.

Hemat penulis wewenang dalam mencoret caleg mantan napi korupsi seharusnya bersumber dari wewenang atributif karena wewenang tersebut merupakan wewenang baru yang tidak diberikan oleh UUD 1945 maupun undang-undang.

Karena wewenang atributif, maka pengaturannya juga harus dalam bentuk UUD dan/atau bentuk undang-undang bukan dalam bentuk PKPU. 

Apakah Cacat Prosedur ?
Dalam hal ini penulis lebih cendrung berpandangan tidak mengalami kecacatan karena sudah mendasarkan pada prosedur yang sudah diatur dalam berbagai aturan teknis terutama PKPU No. 20 tahun 2018, PKPU Nomor 14 Tahun 2018 dan Juga PKPU Nomro 5 tahun 2018 yang berbicara tahapan.

Selama sudah memedomani prosedur-prosedur yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat dikatakan cacat prosedur.

Apakah Cacat Substansi ?
Dalam penjelasan Pasal 64 huruf c UU AP dijelaskan bahwa yang dimasuk cacat substansi adalah:

  • Keputusan tidak dilaksanakan oleh penerima Keputusan sampai batas waktu yang ditentukan.
  • Fakta-fakta dan syarat-syarat hukum yang menjadi dasar Keputusan telah berubah; 
  • Keputusan dapat membahayakan dan merugikan kepentingan umum; atau 
  • Keputusan tidak digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam isi Keputusan.

Dari penjelasan di atas penulis juga tidak menemukan bahwa SK yang pada pokoknya mencoret calon anggota DPRD,DPD, dan DPRD mantan Napi Korupsi tidak mengalami cacat substansi.

Apakah bertentang dengan peraturan perundang-undangan dan AUPB?
Dari sejak awal pembentukannya PKPU Nomor 20 dan 14 Tahun 2018 sudah dipersoalkan banyak kalangan bahkan menkumham sendiri sempat tidak mau menanda tanganinya karena bertentangan dengan undang-udang. Penulis termasuk orang yang juga mengkualifikasi PKPU 20 dan 14 Tahun 2018 sebagai PKPU yang bertentangan dengan undangan-undang.

Adapun mengenahi kesesuain dengan AUPB, AUPB itu diatur dalam dua undang-undang yaitu Pasal 10 UU AP yang meliputi: kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik dan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang meliputi: Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas, Dan Asas Akuntabilitas.

Merujuk pada AUPB yang diatur dalam dua undang-undang diatas, penulis berpandangan setidaknya ada 3 AUPB yang dilanggar yaitu asas ketidakberpihakan, asas menyalahgunakan kewenangan dan asas proporsionalitas.

SK yang dikeluarkan KPU yang pada pokoknya mencoret calon anggota DPR, DPD dan/atau DPRD dibuat dengan cara melanggar asas ketidakberpihakan karena telah memperlakukan hak konstitusional masyarakat secara tidak sama, asas penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) karena dibuat berdasarkan sumber wewenang yang salah, dan asas proporsionalitas karena KPU tidak menjalankan wewenangnya secara proporsional. 

Kesimpulannya surat keputusan yang dikeluarkan KPU yang pada pokoknya mencoret calon anggota DPR, DPD dan/atau DPRD adalah surat keputusan yang cacat wewenang, bertentang dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sehingga Bawaslu memiliki wewenang untuk membatalkannya. 

Editor: A-Liem Tan
Publiser: AamNh7