Nasib Mantan Napi Korupsi Di PEMILU 2019 | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Nasib Mantan Napi Korupsi Di PEMILU 2019

Jumat, 21 September 2018

Putusan Mahkamah Agung (MA) yang ditunggu banyak pihak terkait dengan permohonan uji materi salah satu pasal dalam PKPU Nomor 20 tahun 2018 Tentang Anggota DPR dan DPRD dan PKPU Nomor 21 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota DPD, sudah keluar dan mengabulkan permohonan pemohon. Dengan demikian calon anggota DPR, DPD dan DPRD yang sempat dicoret (Tidak masuk dalam DCS) oleh KPU dapat melanjutkan pencalonannya dan beradu nasib baik dalam kontestasi pemilu 2019.

Pada dasarnya upaya pencegahan dan atensi KPU dalam membersihkan lembaga parlemen dari pemimpin korup perlu kita acungi jempol karena hakikatnya tidak ada orang yang tidak menginginkan negaranya besih dari pemimpin bermental maling, namun demikian upaya baik tanpa dijalankan dengan cara yang baik dan benar justru akan menimbulkan petaka baru.

Paling tidak penulis mencatat dua hal ketidak benaran PKPU yang melarang mantan napi korupsi untuk ada diparlemen selain alasan yang sudah banyak diungkapkan oleh para pakar dan pengamat serta dijadikan dasar pertimbangan oleh MA dalam mengeluarkan Putusan yang berbeda dari PKPU tersebut.

1. Bertentangan Dengan Konsep Negara Hukum
Penegasan Indonesia sebagai negara hukum, baru terjadi pada perubahan UUD 1945 yang ketiga. Pasal 1 ayat (3) UUDRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Sebelumnya norma itu tidak ada dalam UUD 1945  tetapi tidak bisa pula ditafsirkan bahwa Indonesia menganut negara kekuasaan (macht staat).

Orang hukum membagi konsep negara hukum itu menjadi dua yaitu konsep rechtsstaat yang berkembang di eropa barat kontinental seperti perancis dan Rule of law yang berkembang di negara-negara anglo saxon seperti Amerika Serikat.

Keduanya tidak terlalu berbeda dalam hal menterjemahkan arti Negara Hukum yang kurang lebih meliputi:
  1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia 
  2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak asasi manusi
  3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan 
  4. Adanya peradilan administrasi

PKPU yang memuat larangan bagi mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen bertentangan dengan prinsip perlindungan terhadap Hak asasi manusia (HAM) dan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal perlindungan terhadap HAM, para pakar membaginya kedalam HAM yang tidak dapat dikurangi (Non-Derogable Rights) dan HAM yang dapat dikurangi (Derogable Rights).

HAM yang tidak dapat dikurangi diatur dalam Pasal 28I ayat (1) yang meliputi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Diluar hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I UUD’45 RI diatas, berarti masuk katagori hak yang boleh dikurangi termasuk hak untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD maupun DPRD.

Namun apakah pengurangannya dapat dilakukan oleh KPU melalui PKPU ?
Pasal 10 Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UUP3) menentukan muatan materi yang dapat ditaur melalui undang-undang adalah: Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945; Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; Pengesahan perjanjian internasional tertentu; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. 

Bila larangan mantan napi karupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen diatur dalam undang-undang, maka muatan materinya sesuai dengan Pasal 10 huruf e UUP3 sehingga DPR dan eksekutif boleh mengaturnya dalam undang-undang meskipun masih sangat rentan di gugat ke MK. Bagaimana bila diatur dalam PKPU ?

PKPU tidak secara jelas dimasukkan kedalam hierarki perundang-undangan, namun Pasal 8 ayat (1dan2) mengakui keberadaan peraturan yang dibuat oleh lembaga atau komisi selama diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau berdasarkan kewenangannya.

Bila kita cermati Undang-undang 7 tahun 2017 tentang pemilu (UU Pemilu), tidak ada satu pasal pun yang memerintahkan KPU untuk mengatur pembatasan hak mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Dengan kata lain pelarangan mantan napi korupsi dalam kontestasi pemilu dalam KPU tidak didasari perintah undang-undang sehingga syarat pertama dalam pembentukan PKPU gugur. Tinggal alternatif syarat kedua yaitu berdasarkan kewenangannya.

Wewenang KPU diatur dalam Pasal 13 UU Pemilu, dalam pasal tersebut juga tidak ditemukan wewenang KPU dalam membatasi hak pencalonan bagi mntan napi korupsi. KPU hanya diberi wewenang untuk menetapkan peraturan KPU dalam setiap tahapan (Pasal 13 huruf b UU Pemilu) tetapi bukan berarti muatan materinya bisa bebas tanpa merujuk pada perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian alternatif syarat kedua dalam pembentukan PKPU yang membatasi hak konstitusional seseorang juga tidak terpenuhi sehingga wajar bila MA membatalkannya.

Hemat penulis hukum tidak hanya bertujuan untuk mendisiplinkan tatanan sosial kemasyarakatan saja (sosial order) tetapi juga harus diproyeksikan untuk mendisiplinkan segala tindakan pemerintahan (government order). Oleh karenanya pejabat atau lembaga pemerintahan termasuk KPU harus menaati segala kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh Hukum. Itulah hakikat berbangsa dan bernegara didalam kawasan negara hukum seperti di Indonesia.

2. Bertentangan Dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat. 
 UUD 1945 (sebelum amandemen) tidak pernah mengijinkan rakyat menjalankan sendiri kedaulatannya. Kedaulatan rakyat hanya bisa dijalankan oleh MPR. “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Pasal 1 ayat (2) Perubahan UUDRI 1945 yang ketiga mengijinkan rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sendiri selama undang-undang dasar mengijinkannya. “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”.

Pasal 22E ayat (1) telah memberikan ijin kepada rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dengan memilih secara langsung calon anggota DPR,DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Hak memilih merupakan satu-satunya ekspresi kedaulatan rakyat yang secara langsung dapat dilaksanakan sendiri oleh pemilik kedaulatan.

Oleh karenanya hak kedaulatan ini harus kita hargai bersama tanpa harus dibatasi, biarkan rakyat yang menentukan nasib para kontestan pemilu melalui pelaksanaan pemilihan umum, dengan demikian adagium vox populi vox dei menemukan relevansinya.

3. Implikasi Pasca Putusan MA
Berdasar putusan MA yang konon telah membatalkan  pasal yang memuat larangan bagi mantan napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, maka secara mutatis mutandis KPU harus mengembalikannya ke daftar pencalonan. Namun demikian, bagi calon yang sudah diganti oleh partai politik yang bersangkutan maka hak pencalonannya telah diambil alih oleh penggantinya.

Hal tersebut karena pada hakikatnya calon anggota DPR dan DPRD bukan peserta pemilu. Peserta pemilu atas pencalonan anggota DPR atau DPRD adalah Partai Politik. Oleh karenanya Pasal 243 UU Pemilu mensyaratkan proses pencalonan anggota DPR/D harus melalui partai politik masing-masing. Mantan napi korupsi yang pencalonannya sudah diganti dengan orang lain dapat dimaknai tidak dicalonkan lagi oleh partai yang bersangkutan sehingga pencalonannya tidak memenuhi syarat (TMS).

Aturan ini berbeda dengan mantan napi korupsi yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Calon anggota DPD adalah calon yang maju melalui jalur perseorangan bukan melalui partai politik.

Oleh karenanya calon anggota DPD sekaligus merupakan peserta pemilu. Selama persayaratan administrasinya memenuhi syarat dia dapat kembali lagi menjadi calon anggota DPD meskipun berstatus sebagai mantan napi korupsi.

3. Penutup
Menolak kebijakan KPU dalam melarang mantan napi korupsi, bukan berarti tidak ingin negara ini bersih dari para koruptor sebagaimana yang dilakukan Bawaslu dalam mengabulakan permohonan sengketa dan Mahkamah Agung yang mengabulkan uji materi PKPU.

Hal tersebut demi kelangsungan sistem negara hukum Indonesia agar tetap berjalan sesuai dengan mekanisme hukum yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh para ahli sehingga tercipta ketaraturan dalam pengelolaan pemerintahan (government order) dan ketertiban sosial (sosial order).

Hak rakyat dalam menjalankan kedaulatannya perlu kita hargai bersama dan tidak perlu direcoki dengan kekuasaan (authority) yang dimiliki siapun. Biar lah rakyat yang menentukan nasib para kontestan pemilu pada April 2019 mendatang.

Oleh: JAMIL, S.H., M.H.
(Anggota Bawaslu Kab. Sidoarjo)