Syarat Dan Peluang Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Tahun 2018 | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Syarat Dan Peluang Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Tahun 2018

Jumat, 29 Juni 2018

AlimMustofa.com - Setelah tahap akhir penyelenggaraan pemilihan dilaksanakan in casu tahapan rekapitulasi penghitungan hasil perolehan suara di KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, kadangkala masih menyisakan persoalan bagi KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta pemilihan yang berkontestasi dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Tidak dapat dipungkiri bagi pihak yang kalah dalam kontestasi pemilihan dapat saja akan melakukan upaya hukum terkait dengan berbagai masalah (pelanggaran dan kecurangan) selama dalam proses penyelenggaraan pemilihan, baik mulai dari tahapan pemutakhiran daftar pemilih, pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitliasi suara, kepada Mahkamah Konstitusi.

Terkait dengan upaya hukum yang akan dilakukan oleh peserta pemilihan terhadap berbagai masalah pada proses penyelenggaraan tahapan pemilihan, sangat dimungkinkan oleh undang-undang melalui upaya hukum mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Terhadap perselisihan hasil pemilihan sebagaimana amanat Pasal 157 ayat (1) UU 10/2018 diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Amanat pembentukan peradilan khusus sebagai pelaksanaan Pasal 157 ayat (1) UU 10/2016 ini akan dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 telah menyatakan bahwa pemilihan secara serentak nasional dilaksanakan pada bulan Nopember 2024. Jadi, badan peradilan khusus akan dibentuk sebelum tahun 2024 sebagaimana amanat Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016.

Badan peradilan yang saat ini diberikan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilihan adalah Mahkamah Konstitusi, berdasarkan ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang menyatakan bahwa : “perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”. Artinya, sebelum dibentuknya badan peradilan khusus (sebelum tahun 2024), maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilihan. Hal mana sesuai dengan Pasal 157 ayat (4) UU 10/2016 yang menyatakan : “peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi”. 

Pada tahun 2018 di seluruh Indonesia terdapat 171 (seratus tujuh puluh satu) yang menyelenggarakan pemilihan, untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebanyak 17 (tujuh belas) Provinsi, untuk pemilihan Walikota dan Wakil Walikota sebanyak 39 (tiga puluh Sembilan) Kota, dan untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati sebanyak 115 (seratus lima belas) Kabupaten di seluruh Indonesia. Termasuk di Jawa Timur akan diselenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan 4 (empat) Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota serta 14 (empat belas) Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.

Apakah ada ruang dan peluang untuk masing-masing pemilihan tersebut di atas untuk mengajukan perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi. Kemungkinan pengajuan sengketa perselisihan hasil pemilihan sangat terbuka, karena undang-undang memberikan ruang untuk itu. Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 membatasi peserta pemilihan untuk mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan, maka dengan demikian tidak semua pasangan calon dapat mengajukan gugatan (permohonan) perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 158 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 telah membatasi masing-masing pasangan calon untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Berdasarkan Pasal 158 ayat (1) UU 10/2016 telah mengatur terkait syarat permohonan (gugatan) perselisihan hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi terhadap pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Syarat tersebut dibatasi perbedaan jumalh suara antara perolehan paling banyak pertama dengan perolehan kedua, yang perhitungan prosentasenya didasarkan pada jumlah penduduk di setiap provinsi. Jawa Timur jumlah penduduknya lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, maka syarat pengajuan perselisihan perolehan suara jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5 % (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi.

Bagaimana cara perhitungannya, misalnya : seluruh perolehan suara pasangan calon : 15.000.000 suara, maka perbedaannya tidak boleh kurang dari : 15.000.000 x 0,5 % = 75.000 suara (batas minimal selisih suara). Jika antara perolehan suara paling banyak pertama dengan perolehan suara kedua, setelah dikurangi selisihnya : 60.000 suara, maka dapat diajukan sengketa perselisihan hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, jika perolehan suara paling banyak pertama dikurangi dengan perolehan kedua, selisihnya : 75.500 suara, maka tidak dapat diajukan sengketa perselisihan hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi, karena hasil selisih perolehan suara antara perolehan suara terbanyak pertama dengan yang kedua melebihi batas 0,5 % (yaitu 75.000 suara).

Bagaimana untuk peluang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota terhadap sengketa perselisihan hasil pemilihan. Berdasarkan Pasal 158 ayat (2) UU 10/2016 pada prinsipnya mengatur syarat untuk mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilihan, pertama untuk menentukan syarat prosentasenya, ditentukan jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota. Jika jumlah penduduk di masing-masing kabupaten/kota telah diperoleh jumlhanya, maka dengan berdasarkan jumlah penduduk tersebut masuk dalam prosentase berapa persen sebagai syarat untuk mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilihan. Misalkan jumlah penduduk kabupaten adalah : 750.000 jiwa, maka syarat prosentase untuk mengajukan sengketa perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1 % (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan KPU Kabupaten/Kota.
Misalnya di kabupaten tersebut terdapat 3 (tiga) pasangan calon dan seleruh perolehan suara 3 (tiga) pasangan calon tersebut setelah dijumlah adalah : 540.000 suara. Perolehan suara Paslon 1 adalah : 250.000, Paslon 2 : 245.000, dan Paslon 3 : 45.000, sehingga jika dijumlah semuanya adalah : 250.000 + 245.000 + 45.000 = 540.000 suara. Jadi, selisih perbedaan perolehan suaranya adalah : 540.000 x 1 % = 5.400 suara. Maka untuk menentukan perbedaan 1 % (satu persen) cara menghitungnya dengan cara : jumlah perolehan Paslon 1 (yang memperoleh suara terbanyak) dikurangi dengan jumlah perolehan suara Paslon 2 (yang memperoleh suara terbanyak kedua), sehingga selisihnya adalah : 250.000 – 245.000 = 5.000 suara. Maka Pasangan Calon 2 dapat mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilihan, karena selisih (perbedaan) perolehan suaranya adalah 5.000 suara, dan kurang dari syarat 1 % (5.400 suara). Jika selisih (perbedaan) perolehan suaranya lebih dari 1 % (batas minimalnya 5.400 suara), misalnya selisihnya (perbedaan) sejumlah : 5.450 suara, maka pasangan calon tidak dapat mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi.

Selain syarat prosentase untuk mengajukan perselisihan hasil pemilihan, Mahkamah Konstitusi juga mendasarkan pada ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 yang menyatakan : “peserta pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota”. Terkait dengan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi mempertegas kembali di Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, pada Pasal 5 ayat (1) yang dinyatakan : “permohonan Pemohon diajukan kepada Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota”.

Terkait hari kerja Mahkamah Konstitusi mengatur pada Pasal 5 ayat (4) yang menegaskan : “hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku sejak pukul 07.30 WIB sampai dengan pukul 24.00 WIB”. Bagi Indonesia Timur dan Tengah, maka menyesuaikan dengan Waktu Indonesia Barat. Dengan pengaturan hari kerja tersebut, maka 3 (tiga) hari kerja sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) PMK Nomor 5 Tahun 2017 tersebut dihitung berdasarkan jam diumumkannya penetapan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Kata “diumumkan” tersebut dimaknai rapat pleno KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota itu adalah sebagai bentuk diumumkan kepada publik, karena rapat pleno tersebut terbuka untuk umum. Misalnya, penetapan perolehan suara ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota pada tanggal 3 Juli 2018, Pukul : 02.45 WIB, maka batas akhir 3 (tiga) hari kerja tersebut adalah tanggal 5 Juli 2018 pada Pukul : 02.45 WIB. Jika permohonan sengketa diajukan pada tanggal 5 Juli 2018, pada Pukul 02.50 WIB, maka permohonan sengketa perselisihan hasil pemilihan akan diputus dengan putusan dismissal oleh Mahkamah Konstitusi, karena melebihi batas waktu yang ditentukan.

Sebagai kesimpulan, setiap Pasangan Calon akan memiliki peluang untuk mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilihan sebagai ruang yang sudah ditentukan oleh undang-undang, dan bukan hal yang “tabu” untuk menyelesaikan persoalan penyelenggaraan pemilihan melalui jalur yang dibenarkan oleh hukum, dari pada diselesaikan dengan cara-cara diluar hukum. Semoga semua Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye memahami dan menyadari bahwa jalur hukumlah yang harus ditempuh manakala ada persoalan, jangalah menyelesaikan dengan cara-cara yang justru akan menodai demokrasi itu sendiri. Gunakanlah mekanisme yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

Penulis: Sri Sugeng Pujiatmiko, S.H. (Mantan Bawaslu Provinsi Jawa Timur periode 2012-2017)