Kewenangan Ajudikasi BAWASLU | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Kewenangan Ajudikasi BAWASLU

Rabu, 23 Mei 2018

Oleh : Sri Sugeng Pujiatmiko, S.H.

I. PENDAHULUAN

Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilihan Umum Presideng dan Wakil Presiden arti penting lembaga pengawas pemilu (Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS) adalah sebagai wadah partisipasi masyarakat yang akan menyampaikan laporan kepada pengawas pemilu yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memproses segala bentuk pelanggaran pemilu di wilayah kerja masing-masing. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut, maka tidak ada lembaga lain selain pengawas pemilu yang dapat memproses pelanggaran pemilu, kecuali pengawas pemilu.

Lembaga pengawas pemilu selain memilik arti penting sebagai wadah partisipasi masyarakat juga memiliki arti sebagai “quasi yudisial”, yaitu sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk memproses pelanggaran yang masuk dalam kualifikasi sengketa, melalui ajudikasi.

Proses ajudikasi ini harus dilakukan dan diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga pengawas pemilu sebelum menjadi sengekta tata usaha negara. Artinya sengketa proses harus diperiksa, diproses dan harus diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga pengawas pemilu. Peserta pemilu serta merta tidak dapat langsung mengajukan sengketa akibat diterbitkannya keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota langsung kepada Pengadilan Tata Usaha Negara, namun harus melalui proses penyelesaian terlebih dahulu oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Inilah arti penting lembaga pengawas pemilu menjadi lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan proses ajudikasi terhadap sengketa proses.

Selain Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemiihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, ada rezim pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang dikenal dengan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.Lembaga pengawas pemilu (Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota) diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa proses terkait dengan sengketa yang diakibatkan dikeluarkannya atau diterbitkannya keputusan KPU Provinsi (untuk pemilihan Gubernur) dan KPU Kabupaten/Kota (untuk pemilihan Bupati/Walikota). Terkait dengan kewewenangan sengketa proses tersebut, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota lebih banyak menangani sengketa proses terkait dengan pencalonan, khususnya syarat pencalonan dan syarat calon.

II. PELANGGARAN PEMILU

Pelanggaran pemilu dapat dikualifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu : pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana dan pelanggaran kode etik. Sengketa bukan masuk dalam kualifikasi pelanggaraan karena lebih bersifat perbedaan penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah kegiatan dan/atau peristiwa yang berkaitan dnegan pelaksanaan pemilihan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, atau keadaan dimana terdapat pengakuan yang berbeda dan/atau penolakan penghindaran antar peserta pemilihan atau antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan.

Pelanggaran pemilu dapat berasal dari temuan maupun laporan.Temuan didapat dari hasil pengawasan lembaga pengawas pemilu pada penyelenggaraan tahapan pemilu di semua tingkatan yang diduga terjadi pelanggaran pemilu. Sedangkan laporan didapat dari laporan warga masyarakat yang punya hak pilih, peserta pemilu atau tim kampanye dan pemantau pemilu yang telah terakreditasi.

Lembaga pengawas pemilu diberikan kewenangan untuk memproses dugaan pelanggaran yang berasal dari temuan maupun laporan untuk dilakukan pemeriksaan dan kajian.Jika hasil kajian lembaga pengawas pemilu terdapat pelanggaran pemilu, maka direkomendasikan kepada pihak-pihak yang berwenang sesuai dengan kualifaikasi pelanggarannya. Jika masuk dalam pelanggaran pidana, maka direkomendasikan atau diteruskan kepada penyidik Polri, jika pelanggaran masuk dalam pelanggaran administrasi, maka direkomendasikan kepada KPU dan jika pelanggaran masuk dalam kualifikasi kode etik, maka diteruskan atau direkomendasikan kepada DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).

Berdasarkan UU 7 Tahun 2017 Tentang UU Pemilu, terkait dengan kualifikasi pelanggaran administrasi pemilu, Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam memproses penyelesaian pelanggaran administrasi hasil dari proses penyelesaiannya adalah dalam bentuk putusan.

Pada penyelenggaraan Pemilu tahun 2019, proses penanganan pelanggaran juga ada pembedaan yang menjadi kewenangan lembaga pengawas pemilu.Yang pertama, adalah pelanggaran pemilu dan yang kedua adalah pelanggaran pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif (yang disebut pelanggaran TSM). Pelanggaran TSM ini terdiri dari 2 (dua) kualifikasi, yang pertama yaitu pelanggaran administrasi yang TSM, meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. (vide Pasal 463 UU 7/2017). Yang kedua adalah pelanggaran terkait dengan pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya yang terjadi secara TSM. (vide Pasal 286 UU 7/2017).

Khusus terhadap pelanggaraan TSM terkait pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya di dalam UU 10 Tahun 2016 juga diatur penyelesaiaannya oleh lembaga pengawas pemilu.Pelanggaran terkait dengan pelanggaran TSM sanksi terhadap pelanggaran itu adalah pembatalan sebagai peserta pemilu. Kewenangan lembaga pengawas pemilu yang begitu besar, sehingga kewenangan itu menjadi “beban” bagi pengawas pemilu, khususnya Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi, karena kewenangan untuk menyelesaiakan pelanggaran TSM itu adalah Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi. Menjadi “beban” karena SDM Bawaslu terdiri dari berbagai macam disipil ilmu yang tidak focus terkait dengan disiplin ilmu hukum, padahal terkait dengan kewenangan itu, lembaga pengawas pemilu diposisikan sebagai “hakim pemutus”.

Jika dilihat dari kualifikasi pelanggarannya, pelanggaran TSM terkait dengan pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya adalah merupakan kualifikasi pelanggaran pidana pemilu, namun kenapa pelanggaran itu oleh undang-undang dikualifikasi sebagai pelanggaran “administrasi” yang diproses oleh lembaga pengawas pemilu untuk diselesaikan, bukan oleh penyidik kepolisian untuk penyelesaiannya.

Dalam penanganan pelanggaran TSM khususnya pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya dilakukan dalam 2 (dua) mekanisme. Mekanisme pertama diselesaikan melalui proses administrasi yang dilakukan secara terbuka dan bentuk penyelesaiannya dituangkan dalam bentuk putusan. Sedangkan mekanisme kedua diselesaikan dan tetap diproses secara penanganan pelanggaran pidana pemilu. (vide Pasal 286 ayat 4 UU 7/2017). Artinya pelanggaran TSM khususnya pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya selain diproses secara administrasi, juga diproses secara pidana.

Proses secara administrasi yang dilakukan oleh Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi adalah melakukan pemeriksaan dan memutus pelanggaran TSM berdasarkan Perbawaslu 13 Tahun 2016 (untuk pemilukada, karena untuk Pemilu Legislatif belum dibuat) melalui tahapan sebagai berikut :
  1. Pembacaan materi laporan oleh Pelapor.
  2. Pembacaan tanggapan/jawaban Terlapor dan/atau keterangan Pihak Terkait.
  3. Pembuktian.
  4. Penyampaian kesimpulan Pihak Pelapor, Terlapor dan/atau Pihak Terkait, dan
  5. Pembacaan Putusan.

Dan jika ada pihak yang merasa belum menerima putusan lembaga pengawas pemilu, maka dapat diajukan keberatan kepada Bawaslu RI dan para pihak masih ada yang keberatan dapat melakukan upaya hukum kepada Mahkamah Agung.

Dilihat dari proses pemeriksaan pelanggaran TSM, hukum acaranya hampir sama dengan pemeriksaan di sidang pengadilan umum.

Yang menjadi persoalan terhadap 2 (dua) mekanisme penanganan pelanggaran TSM ini adalah ketika pada pemeriksaan di lembaga pengawas pemilu (Bawaslu Provinsi) tidak terbukti melakukan pelanggaran TSM, namun di sisi lain penanganan pelanggaran TSM secara pidana yang diproses secara pidana, mulai dari pengawas pemilu, kepolisian, kejaksaan dan di pengadilan ternyata diputus terbukti melakukan pelanggaran menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya. Nah, inilah yang menjadi problem dan masalah yang perlu kajian mendalam untuk melakukan upaya “penyatuan lembaga pengadilan khusus pemilu”. Lembaga pengadilan khusus pemilu ini menangani seluruh perkara yang terkait dengan proses penyelenggaraan pemilu sampai dengan sengketa hasil.

III. SENGKETA PEMILU

Sengketa timbul karena adanya perbedaan penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah kegiatan dan/atau peristiwa yang berkaitan dnegan pelaksanaan pemilihan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, atau keadaan dimana terdapat pengakuan yang berbeda dan/atau penolakan penghindaran antar peserta pemilihan atau antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan.

Yang menjadi problem adalah ketika sengketa itu diakibatkannya atau diterbitkannya keputusan KPU, karena jika sengketa antar peserta pemilu dapat diselesaikan pada hari yang sama, karena lebih bersifat sengketa cepat. Namun jika sengketa sudah terkait dengan keputusan KPU, maka proses penyelesaiannya memerlukan mekanisme dan prosedur yang berbeda, karena biasanya terkait dengan “win” dan “lose”, sehingga peserta pemilu akan berupaya untuk membuktikan pokok permohonannya dan di sisi lain (pasangan calon lain sebagai pihak terkait) juga akan berupaya untuk mempertahankannya.

Terhadap sengketa ini lembaga pengawas pemilu diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu, baik pada penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD serta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan UU 7 Tahun 2017, maupun pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota berdasarkan UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pada penyelesaian sengketa sebagaimana UU 10 Tahun 2016 tidak secara tegas harus diselesaikan  melalui ajudikasi, hanya diwajibkan penyelesaian itu dilakukan melalui proses yang terbuka dan dipertanggungjawabkan. Maka berdasarkan UU 10 Tahun 2016, Bawaslu membuat Perbawaslu 8 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam pemeriksaan penyelesaian sengketa melalui tahapan :
  1. Penyampaian materi permohonan.
  2. Penyampaian keterangan dan/atau tanggapan Termohon dan/atau Pihak Terkait.
  3. Pemeriksaan bukti.
  4. Penyampaian kesimpulan pihak pemohon dan Termohon.
  5. Pembuatan kesepakatan, dan
  6. Penetapan hasil musywarah.

Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan, maka Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota membuat Keputusan.

Jika berdasarkan UU 7 Tahun 2017 telah jelas diatur terkait dengan proses penyelesaian sengketa melalui ajudikasi (vide Pasal 486 ayat 4).Terkait dengan hal tersebut Bawaslu RI masih memproses pembuatan Perbawaslu terkait dengan penyelesaian sengketa.

Kualifikasi sengketa berdasarkan UU 7 Tahun 2017 meliputi sengketa terkait :
  1. Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu.
  2. Penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota, dan
  3. Penetapan Pasangan Calon.

Tiga kualifikasi itulah yang menjadi kewenangan lembaga pengawas pemilu untuk menyelesaikan sengketa ketika terjadi laporan penyelesaian sengketa.

Proses penyelesaian sengketa ini adalah diawali dari pengajuan permohonan kepada lembaga pengawas pemilu (Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota) dan selanjutnya diproses oleh lembaga pengawas pemilu setelag memenuhi syarat formil dan materiil. Semua sengketa proses harus selesai dilakukan terlebih dahulu di pengawas pemilu akibat dikeluarkannya atau diterbitkannya keputusan KPU. Terhadap sengketa proses ini, peserta pemilu tidak dapat serta merta langsung mengajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara, namun harus diselesaikan di lembaga pengawas pemilu terlebih dahulu. Jika pihak pemohon tidak menerima atas putusan lembaga pengawas pemilu, maka dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.

Hal ini berbeda dengan kualifikasi sengketa pada penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, ketika pihak pemohon tidak menerima putusan dari lembaga pengawas pemilu, maka dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan bukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.

Sejak pihak mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara itu sengketa tata usaha Negara diproses oleh lembaga peradilan. Sebab lembaga pengawas pemilu bukanlah lembaga peradilan, namun difungsikan sebagai “quasi yudisial” yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa proses pemilu.

Oleh karena lembaga pengawas pemilu bukan sebagai lembaga peradilan, maka terkait dengan penyelesaian sengketa ini adalah lebih bersifat sebagai “banding administrasi” ketika ada pihak-pihak yang tidak menerima akibat terbitnya keputusan KPU.

Dalam UU 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan  pada BAB X dan Pasal 48 UU 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dinyatakan bahwa upaya administrasi adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan administrasi pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya dan/atau tindakan yang merugikan. (vide Pasal 1 ayat 16 UU 30/2014).

Pasal 48 UU 5 Tahun 1986 di atas bermakna sama dengan Pasal 471 yang menyatakan bahwa “pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha Negara pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 470 ke pengadilan tata usaha Negara, dilakukan setelah upaya administrasi di Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467, Pasal 468, dan Pasal 469 ayat (2) telah digunakan”. Artinya bahwa seluruh proses sengketa TUN harus melalui upaya administrasi terlebih dahulu di Bawaslu.

IX. PENUTUP

Yang pertama, kewenangan yang begitu besar yang diberikan oleh undang-undang kepada lembaga pengawas pemilu harus diikuti oleh peningkatan SDM lembaga pengawas pemilu. Jika tidak, maka sulit bagi lembaga pengawas pemilu untuk menyelesaikan proses pelanggaran TSM maupun sengketa proses. Maka oleh karena itu, tugas Bawaslu RI sebagai pemegang komando harus melakukan bimbingan teknis untuk peningkatan SDM khususnya terkait dengan penanganan pelanggaran TSM, bagaimana SDM pengawas pemilu memahami unsur-unsur yang terdapat pada ketentuan, bagaimana menganalisa unsur-unsurnya dan bagaimana mengetrapkan di dalam perkara yang harus disesuaikan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan.

Dan ini tidak mudah, begitu pula SDM  pengawas pemilu harus memahami dan harus dapat membuat Putusan, maka Bawaslu RI harus segera melakukan bimbingan teknis bagaimana cara memproses (tata cara, mekanisme dan prosedur) penyelesaian sengketa, baik menjadi majelis pemeriksa, memimpin proses pemeriksaan, melakukan tanya jawab kepada saksi-saksi dan saksi ahli, pemeriksaan bukti dan bagaimana cara membuat putusan.Tentunya hal ini tidak mudah, maka kewajiban Bawaslu RI untuk memberikan ilmu melalui bimtek kepada jajaran di bawahnya.

Yang kedua, terkait dengan adanya putusan pengadilan satu dengan yang lain berbeda, maka perlu adanya “penyatuan lembaga pengadilan khusus pemilu” yang akan menangani seluruh perkara yang terkait dengan pemilu, baik proses maupun sengketa hasil (yang saat ini diperiksa, diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi).